Oleh: Ruben Cornelius Siagian

________

Pengantar

Sudan telah mengalami kekerasan yang bersifat persisten dan kompleks sejak akhir 1980-an, melibatkan berbagai aktor, tipe kekerasan, dan wilayah strategis, menjadikannya salah satu konflik paling berkepanjangan di dunia. Interaksi yang rumit antara pemerintah, milisi, kelompok pemberontak, komunitas lokal, dan negara tetangga membentuk jaringan konflik yang saling terkait, sementara lonjakan kematian sering bertepatan dengan peristiwa penting seperti konflik Darfur atau kemerdekaan Sudan Selatan. Kekerasan di Sudan sendiri tidak homogen, bahwa terdapat konflik berbasis negara, serangan terhadap warga sipil, serta perselisihan antar-komunitas, yang semuanya membawa risiko tinggi bagi populasi. Distribusi kekerasan yang telah saya lakukan terkonsentrasi di hotspot strategis menegaskan bahwa dampak tragedi kemanusiaan tidak merata, sementara lonjakan episodik kematian menunjukkan risiko nyata bagi warga sipil. Dataset primer untuk kajian ini diperoleh dari Uppsala Conflict Data Program (UCDP), Department of Peace and Conflict Research, Uppsala University, memungkinkan analisis sistematis terkait jumlah korban, tipe kekerasan, dan aktor yang terlibat dari 1989 hingga 2024.

Menariknya, Indonesia, yang secara konstitusional menegaskan nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan persatuan (Pancasila, sila kedua), cenderung abai terhadap tragedi kemanusiaan ini. Publik dan kebijakan lebih fokus pada afiliasi agama, seperti dukungan terhadap kelompok Muslim, sementara korban dari konflik Sudan yang jumlahnya jauh lebih besar, termasuk kelompok non-Muslim, jarang mendapat perhatian. Sikap selektif ini menimbulkan pertanyaan, bahwa apakah praktik kebijakan Indonesia benar-benar menerapkan prinsip kemanusiaan universal yang menjadi dasar Pancasila dan konstitusi, atau justru menunjukkan bias yang mengedepankan identitas mayoritas di atas nilai kemanusiaan?

Peran lembaga negara dan aktor sosial menjadi sangat penting dalam menghadapi krisis kemanusiaan . Kementerian Luar Negeri seharusnya mengambil langkah diplomatik tegas untuk advokasi kemanusiaan universal, sementara Menko Polhukam perlu mempertimbangkan dampak konflik terhadap stabilitas regional dan posisi strategis Indonesia dalam diplomasi multilateral. Kemensos dan BNPB harus proaktif menyiapkan mekanisme bantuan dan penanganan dampak sosial, sedangkan Kemenag memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat agar solidaritas kemanusiaan bersifat inklusif. Di sisi masyarakat sipil, pemimpin komunitas agama dan organisasi gereja nasional memiliki tanggung jawab moral mendorong advokasi tanpa bias, dan organisasi kepemudaan gereja perlu menumbuhkan kesadaran kritis serta perspektif global di kalangan pemuda. Akademisi dan universitas dapat menyediakan analisis berbasis data sebagai dasar kebijakan dan pendidikan publik, sementara media massa dan jurnalis investigatif harus memastikan informasi mengenai tragedi kemanusiaan tersebar luas agar opini publik terbentuk secara faktual dan tidak terdistorsi oleh bias selektif.

Tulisan ini menantang Indonesia untuk merenungkan sikapnya terhadap tragedi global. Mengabaikan konflik yang tidak “sesuai identitas mayoritas” dapat menimbulkan preseden berbahaya, memperlihatkan ketidakkonsistenan antara praktik kebijakan dan nilai-nilai yang dijunjung Pancasila dan konstitusi. Pemahaman yang kritis terhadap dinamika kekerasan di Sudan bukan sekadar akademik atau geografis, bahwa ini adalah cermin bagi Indonesia untuk menilai sejauh mana prinsip kemanusiaan, keadilan sosial, dan persatuan diterapkan secara nyata dalam kebijakan, solidaritas masyarakat, dan pendidikan generasi muda.

Analisis Kematian Tahunan di Sudan (1989–2024) Berdasarkan Tipe Kekerasan dan Kaitannya dengan Peristiwa

Dapat dilihat pada gambar di bawah yang dilakukan oleh saya bahwa dinamika kematian tahunan di Sudan selama periode 1989 hingga 2024, dikategorikan berdasarkan tipe kekerasan, antara lain; State-Based, Non-State, dan One-Sided. Garis berwarna yang mewakili masing-masing tipe kekerasan menampilkan fluktuasi jumlah korban dari tahun ke tahun, dengan titik-titik pada garis menekankan angka kematian pada setiap tahun. Terlihat bahwa kekerasan berbasis negara (State-Based) mendominasi jumlah total korban dalam jangka panjang, meskipun ada lonjakan dramatis One-Sided Violence pada tahun-tahun tertentu yang melibatkan serangan terhadap populasi sipil.

Trend Kematian Tahunan di Sudan (1989–2024) Berdasarkan Tipe Kekerasan dan Kaitannya dengan Peristiwa

Sumber: Hasil proses analisis yang dilakukan oleh Penulis, 2025

Garis putus-putus pada masing-masing tipe kekerasan menandakan rata-rata bergerak tiga tahun, yang membuatperspektif tren jangka menengah dan memperhalus fluktuasi tahunan ekstrem. Lonjakan atau penurunan mendadak dalam kematian terlihat lebih jelas sebagai tren daripada variasi tahunan acak.

Garis vertikal putus-putus menandai peristiwa penting seperti Darfur Conflict (2003), kemerdekaan South Sudan (2011), eskalasi RSF (2013), dan puncak One-Sided Violence (2024). Label pada garis vertikal menekankan bahwa banyak lonjakan kematian bertepatan dengan momen-momen kritis ini, menunjukkan korelasi antara eskalasi dan peningkatan angka kematian.

Total Kematian dan Statistik per Tipe Kekerasan (1989–2024)

Tipe Kekerasan

Total Kematian

Rata-rata Kematian/Tahun

Puncak Kematian

Tahun Puncak

Rata-rata Bergerak 3 Tahun

Maks Bergerak

Min Bergerak

State-Based

62.009

1.722

5.353

2023

1.542

3.68

34

One-Sided

26.655

740

5.829

2004

699

3.135

57

Non-State

24.775

688

4.01

1993

680

2.084

143

Sumber: Hasil proses analisis yang dilakukan oleh Penulis, 2025

Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa State-Based Violence merupakan tipe kekerasan yang paling mematikan di Sudan antara tahun 1989 hingga 2024, dengan total kematian mencapai 62.009 jiwa dan puncak tertinggi pada tahun 2023 sebanyak 5.353 korban. One-Sided Violence, meskipun totalnya lebih rendah yakni 26.655 korban, menunjukkan lonjakan ekstrem pada tahun 2004 dengan 5.829 kematian, menandakan dampak signifikan terhadap populasi sipil pada periode konflik tertentu. Sementara Non-State Violence menyumbang 24.775 korban dan mencapai puncak kematian pada tahun 1993 sebanyak 4.010 jiwa, menyoroti peran kelompok bersenjata non-negara. Rata-rata bergerak tiga tahun memperlihatkan tren jangka menengah yang lebih halus, hal ini mengartikan bahwa meskipun terdapat fluktuasi tahunan yang tajam, State-Based Violence tetap konsisten menjadi kontributor utama kematian, sedangkan One-Sided dan Non-State Violence menghadirkan lonjakan episodik yang memunculkan dampak dramatis pada populasi sipil.

Kematian per Peristiwa

Event

Tahun

State-Based

Non-State

One-Sided

Darfur Conflict

2003

2.008

186

2.816

Independence South Sudan

2011

1.404

983

180

RSF Escalation

2013

597

1.335

27

One-sided Violence Peak

2024

4.68

107

2.316

                                       Sumber: Hasil proses analisis yang dilakukan oleh Penulis, 2025

Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa jumlah kematian terkait peristiwa di Sudan menunjukkan pola yang berbeda-beda tergantung tipe kekerasan. Pada Darfur Conflict (2003), One-Sided Violence mendominasi korban dengan 2.816 kematian, diikuti oleh State-Based Violence sebanyak 2.008 korban, sementara Non-State Violence relatif rendah. Saat Independence South Sudan (2011), State-Based Violence masih tinggi dengan 1.404 korban, sedangkan Non-State Violence meningkat menjadi 983 korban, menunjukkan keterlibatan aktor non-negara dalam konflik yang terkait perubahan politik. RSF Escalation (2013) menandai puncak Non-State Violence dengan 1.335 korban, sementara One-Sided Violence turun drastis. Adapun pada One-sided Violence Peak (2024), terjadi lonjakan besar pada State-Based Violence (4.680 korban) dan One-Sided Violence (2.316 korban), menegaskan eskalasi konflik yang menargetkan populasi sipil sekaligus kekerasan oleh aktor negara.

Selama periode 1989 hingga 2024, Sudan mengalami total 113.439 kematian akibat berbagai bentuk kekerasan. Angka ini merupakan kombinasi kekerasan berbasis negara, serangan terhadap populasi sipil, serta aksi kelompok bersenjata non-negara, yang bersama-sama menciptakan pola kematian yang fluktuatif namun konsisten tinggi sepanjang lebih dari tiga dekade.

Analisis Jaringan Dinamika Konflik di Sudan

Dapat dilihat pada gambar dibawah yang adalah jaringan dinamika konflik di Sudan. Setiap node merepresentasikan aktor dalam konflik, dan ukuran node disesuaikan dengan degree centrality, sehingga aktor yang memiliki keterhubungan lebih banyak tampil lebih besar dan menonjol. Aktor-aktor penting seperti Pemerintah Sudan, SPLM/A, dan Civilians terlihat sebagai titik pusat dalam jaringan, hal ini mengartikan posisi strategis mereka baik dalam hubungan langsung maupun pengaruh terhadap jaringan secara keseluruhan.

Jaringan Konflik di Sudan

Sumber: Hasil proses analisis yang dilakukan oleh Penulis, 2025

Gambar jaringan diatas memperlihatkan konflik di Sudan dengan node sebagai aktor dan edge sebagai konflik. Ukuran node mengintrepetasikan tingkat keterhubungan (degree), warna menunjukkan komunitas, dan ketebalan edge menunjukkan jumlah korban. Pemerintah Sudan, SPLM/A, dan Civilians terlihat sebagai aktor paling sentral, sementara beberapa komunitas besar menandai kelompok aktor yang saling terkait erat.

Ringkasan Analisis Jaringan Konflik di Sudan

Aspek Analisis

Hasil Utama

Jumlah Aktor (Nodes)

114 aktor terlibat dalam konflik

Jumlah Konflik (Edges)

118 hubungan konflik tercatat

Jumlah Komunitas

22 komunitas terbentuk, mencerminkan kelompok aktor yang saling terkait

Ukuran Komunitas Terbesar

Komunitas terbesar memiliki 28 aktor

Degree Centrality Rata-rata

2,07

Betweenness Centrality Rata-rata

0,000076

Eigenvector Centrality Rata-rata

0,029

Top 3 Aktor Berdasarkan Degree

Pemerintah Sudan (17)

Civilians (12)

SPLM/A (9)

Top 3 Aktor Berdasarkan Betweenness

SPLM/A (0,0019)

Pemerintah Sudan (0,0018)

Rizeigat Abbala (0,00095)

Top 3 Aktor Berdasarkan Eigenvector

Pemerintah Sudan (1,0)

SPLM/A (0,847)

Civilians (0,466)

Sumber: Hasil proses analisis yang dilakukan oleh Penulis, 2025

Dapat dilihat pada tabel diatas yang didapatkan dari analisis jaringan konflik di Sudan bahwa terdapat 114 aktor yang terlibat dalam 118 konflik, membentuk 22 komunitas dengan ukuran bervariasi, di mana komunitas terbesar terdiri dari 28 aktor. Rata-rata keterhubungan antar aktor (degree centrality) relatif rendah sebesar 2,07, menandakan sebagian besar aktor memiliki interaksi terbatas, sementara betweenness centrality rata-rata sangat kecil, yang menunjukkan sebagian besar aktor tidak berada pada jalur penghubung strategis. Dari sisi pengaruh keseluruhan dalam jaringan, eigenvector centrality rata-rata juga rendah, namun beberapa aktor menonjol, dengan Pemerintah Sudan dan SPLM/A mendominasi jaringan, diikuti Civilians. Pemerintah Sudan memiliki keterhubungan tertinggi dan pengaruh terbesar, SPLM/A memegang peran sebagai penghubung dalam konflik, dan Civilians juga memiliki pengaruh yang signifikan. Komunitas-komunitas besar mengartikan kelompok aktor yang saling terkait dan intens dalam konflik, sedangkan aktor-aktor kecil lebih terisolasi.

Distribusi Hotspot Kekerasan dan Kota Strategis di Sudan Berdasarkan KDE

Dapat dilihat pada gambar di bawah yang merupakan distribusi spasial kekerasan di Sudan dengan memanfaatkan analisis KDE untuk menyoroti area yang menjadi hotspot konflik. Warna latar yang bervariasi dari peta raster mengintrepetasikan intensitas kekerasan, dengan wilayah yang lebih gelap menandakan konsentrasi peristiwa yang lebih tinggi. Titik-titik individual di atas raster mewakili lokasi kejadian berdasarkan jenis kekerasan, di mana warna membedakan antara kekerasan berbasis negara, non-negara, dan satu sisi. Adapun kota-kota strategis seperti Khartoum, Darfur, dan Gezira ditandai dengan simbol yang lebih besar, sehingga dapat mengaitkan lokasi hotspot dengan pusat-pusat populasi atau administrasi.

Distribusi Hotspot Kekerasan dan Kota Strategis di Sudan Berdasarkan KDE

Sumber: Hasil proses analisis yang dilakukan oleh Penulis, 2025

Berdasarkan hasil analisis data kekerasan di Sudan, terlihat bahwa distribusi kejadian bervariasi menurut jenis kekerasan dan wilayah geografis. Dari sisi jenis kekerasan, State-Based Violence mencatat jumlah peristiwa tertinggi dengan 2.277 kejadian dan total korban mencapai 62.009 orang, diikuti oleh One-Sided Violence sebanyak 1.699 kejadian dengan 26.655 korban, serta Non-State Violence yang terjadi 580 kali dengan 24.775 korban. Rata-rata kematian per kejadian tertinggi terjadi pada Non-State Violence sebesar 42,7 orang per peristiwa, sementara One-Sided Violence memiliki rata-rata korban terendah, yakni 15,7 orang per peristiwa.

Dilihat dari perspektif geografis, provinsi North Darfur menempati posisi tertinggi dalam jumlah kejadian dengan 534 peristiwa dan 4.029 korban, diikuti oleh Khartoum dengan 394 kejadian dan 3.096 korban, serta South Darfur dengan 328 peristiwa dan 3.173 korban. Beberapa wilayah Darfur lainnya, seperti Central, Northern, Southern, dan Western Darfur, juga menunjukkan konsentrasi tinggi baik dalam jumlah kejadian maupun total korban, yang mengindikasikan Darfur tetap menjadi pusat konflik utama di Sudan.

Adapun berdasarkan Analisis KDE (Kernel Density Estimation) yang saya lakukan menunjukkan adanya hotspot konsentrasi kejadian kekerasan dengan intensitas maksimum mencapai 49,9912 pada lokasi tertentu yang merepresentasikan area konflik paling padat. Analisis ini mengonfirmasi bahwa kekerasan tidak tersebar merata, melainkan terfokus di beberapa wilayah strategis yang menjadi titik utama konflik.

Refleksi dan Rekomendasi

Refleksi

Analisis terhadap konflik di Sudan selama periode 1989–2024 mengungkapkan kompleksitas yang tinggi, di mana berbagai aktor baik negara, kelompok bersenjata non-negara, maupun warga sipil berinteraksi dalam jaringan konflik yang saling terkait. Hasil analisis jaringan menegaskan bahwa aktor negara, khususnya Pemerintah Sudan, memiliki dominasi struktural, sementara SPLM/A dan Civilians berperan strategis sebagai penghubung dan penerima dampak konflik. Pola kematian tahunan menunjukkan bahwa State-Based Violence konsisten menjadi penyumbang korban terbesar, sementara lonjakan One-Sided dan Non-State Violence menghasilkan dampak episodik yang dramatis terhadap populasi sipil. Distribusi spasial dengan KDE mengungkapkan bahwa kekerasan terkonsentrasi pada hotspot strategis, terutama di Darfur dan Khartoum, menegaskan bahwa dampak tragedi kemanusiaan tidak merata dan sangat bergantung pada lokasi dan konteks politik.

Temuan sejalan dengan teori konflik kompleks (Complex Conflict Theory) yang menekankan interaksi multidimensional antara aktor negara, non-negara, dan komunitas lokal dalam menciptakan dinamika konflik yang tidak linear dan sulit diprediksi. Penelitian sebelumnya juga menegaskan bahwa konflik berkepanjangan sering dikaitkan dengan fragilitas negara, ketimpangan sumber daya, serta keterlibatan aktor eksternal yang memengaruhi intensitas dan durasi konflik. Dari perspektif human security, lonjakan One-Sided Violence yang menargetkan warga sipil menekankan kerentanan populasi terhadap kekerasan struktural dan episodik, sekaligus menegaskan urgensi advokasi kemanusiaan universal yang tidak bersifat selektif.

Posisi Indonesia menunjukkan adanya ketidakkonsistenan antara prinsip kemanusiaan universal dalam Pancasila dan praktik kebijakan yang cenderung bias identitas. Sikap selektif terhadap korban konflik berdasarkan afiliasi agama atau identitas mayoritas menimbulkan risiko legitimasi moral dan etika dalam diplomasi serta advokasi kemanusiaan, sejalan dengan temuan Slim, H. (2019) yang berjudul “Humanitarian diplomacy: the ICRC’s neutral and impartial advocacy in armed conflicts” dan telah diterbitkan oleh Cambridge University Press.

Rekomendasi

Berdasarkan refleksi di atas, rekomendasi strategis untuk menghadapi konflik Sudan dan meningkatkan respons kemanusiaan Indonesia dapat dirumuskan.

  1. Kementerian Luar Negeri harus berhenti bersikap pilih kasih. Advokasi kemanusiaan universal bukan sekadar jargon, bahwa diplomasi multilateral harus menekankan perlindungan semua korban konflik tanpa diskriminasi agama, etnis, atau afiliasi politik. Ketegasan diplomatik harus diutamakan dibanding retorika simbolik yang menyesatkan.
  2. Menko Polhukam wajib menilai risiko konflik eksternal bukan hanya dari perspektif nasional sempit, tapi juga dampak regional dan global. Kegagalan memahami konteks strategis akan menempatkan Indonesia sebagai penonton pasif dalam krisis yang menuntut tindakan.
  3. Kemensos dan BNPB harus memiliki mekanisme respons cepat dan adaptif, bukan sekadar lip service. Distribusi bantuan harus tepat sasaran, berbasis data, dan terkoordinasi dengan lembaga internasional seperti UNHCR dan ICRC. Ketidakmampuan logistik atau birokrasi lambat harus dianggap kegagalan moral.
  4. Kemenag, universitas, dan lembaga pendidikan harus secara agresif menanamkan nilai kemanusiaan universal. Pendidikan yang membiarkan bias identitas berkembang sama saja dengan mencetak generasi yang acuh terhadap penderitaan manusia lain.
  5. Media massa dan jurnalis investigatif wajib melampaui opini dangkal. Fakta harus dikedepankan, analisis berbasis data harus menjadi standar, agar opini publik terbentuk secara rasional, bukan sekadar terprovokasi identitas.
  6. Pemimpin komunitas agama dan organisasi gereja seperti PGI, KWI, dan GKJ tidak bisa lagi hanya bersuara selektif. Kewajiban moral menuntut advokasi tanpa bias dan penekanan etika kemanusiaan universal, sekaligus mengkritik kebijakan pemerintah jika perlu.
  7. Organisasi kepemudaan gereja seperti PMKRI, GMKI, GAMKI, dan Gerejawi harus aktif membentuk kesadaran kritis generasi muda. Keterlibatan mereka dalam aksi sosial dan politik harus menekankan perspektif global dan kemanusiaan, bukan sekadar agenda domestik sempit.
  8. Akademisi dan institusi penelitian harus menjadi suara yang tidak kompromi, menyediakan analisis berbasis data yang dapat memaksa pemerintah dan publik untuk menghadapi realitas, bukan sekadar propaganda identitas.

Referensi

Buku Teoretis

Andersen-Rodgers, David, and Kerry F Crawford. Human Security: Theory and Action. Bloomsbury Publishing PLC, 2022.

Papamichail, Andreas. Structural Violence and the Paradox of Humanitarian Intervention. University of St Andrews, 2018.

Artikel Jurnal Akademik

Charountaki, Marianna. “State and Non-State Interactions in International Relations: An Alternative Theoretical Outlook.” British Journal of Middle Eastern Studies 45, no. 4 (2018): 528–42.

Degomme, Olivier, and Debarati Guha-Sapir. “Patterns of Mortality Rates in Darfur Conflict.” The Lancet 375, no. 9711 (2010): 294–300.

Slim, Hugo. “Humanitarian Diplomacy: The ICRC’s Neutral and Impartial Advocacy in Armed Conflicts.” Ethics & International Affairs 33, no. 1 (2019): 67–77.

Sørbø, Gunnar M. “Local Violence and International Intervention in Sudan.” Review of African Political Economy 37, no. 124 (2010): 173–86.

Taylor, Sebastian AJ. “Fragile and Conflict-Affected States: Exploring the Relationship between Governance, Instability and Violence.” Stability: International Journal of Security and Development 3, no. 1 (2014): 28–28.

Artikel Jurnal Akademik

Marshall, Monty G, and Benjamin R Cole. “Global Report on Conflict, Governance and State Fragility 2008.” Foreign Policy Bulletin 18, no. 1 (2008): 3–21.

*Profil Penulis

Ruben Cornelius Siagian adalah seorang profesional muda asal Medan, Sumatera Utara, yang menonjol di bidang penelitian, advokasi. Ruben telah membangun profil akademik yang kuat melalui publikasi ilmiah yang mencakup isu strategis global, energi nuklir, hingga perlindungan hak masyarakat adat di Indonesia. Karya-karyanya telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional dan platform akademik, termasuk Atlantis Press, Jurnal Lemhannas RI, Security Intelligence Terrorism Journal, serta Center of Middle Eastern Studies, menegaskan ketertarikannya pada dinamika geopolitik, kebijakan keamanan, dan keberlanjutan energi.

Ruben aktif dalam berbagai organisasi, mulai dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di UNIMED, di mana ia menjabat sebagai Ketua Komisariat dan Wakil Sekretaris, hingga kepemimpinan di Senat Mahasiswa FMIPA UNIMED. Saat ini ia juga menjabat sebagai Sekretaris di Lembaga Advokasi dan Pendidikan Pemilihan Umum DPD GAMKI Sumatera Utara dan sebagai pendiri sekaligus Koordinator Riset Center Cendekiawan dan Peneliti Muda Indonesia, sebuah wadah riset yang mendukung puluhan mahasiswa, dosen muda, dan guru dari berbagai daerah.

Selain dunia akademik dan organisasi, Ruben aktif menulis opini dan analisis kritis di berbagai media nasional, seperti Tatkala, Kabar Nusantara, Lapan6 Online, Rentak, Jubi, Kebumen Update, dan Epochstream. Tulisan-tulisannya mengangkat isu-isu politik, transparansi publik, demokrasi, pemerintahan, dan perkembangan energi strategis di Indonesia. Ruben menunjukkan keseimbangan yang harmonis antara dedikasi ilmiah, komitmen advokasi sosial-politik, serta kemampuan kepemimpinan yang konsisten dalam membangun ruang belajar dan riset bagi generasi muda.