Oleh: Risal Balle, S.E., M.Ak

Praktisi Keuangan Sektor Publik

_______

Di Persimpangan Sejarah

hari ini seolah sedang berdiri di dua dunia: antara masa depan industri dan masa lalu agraris-maritim yang menjadi akar jati diri masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi yang menembus 39,10% (yoy) pada triwulan III tahun 2025 membuat provinsi ini menjadi sorotan nasional. Namun di balik angka gemerlap itu, muncul pertanyaan mendasar: ke mana arah pembangunan akan dibawa — menuju keberlanjutan atau keterputusan sejarahnya sendiri?

Leluhur orang bukanlah penambang. Mereka adalah petani pala, nelayan tuna, penyadap nira, penanam sagu, dan penganyam jaring kehidupan laut. Mereka membangun peradaban ekonomi berbasis harmoni: memanfaatkan alam tanpa merusaknya, mengambil seperlunya, dan mengembalikan sisanya pada bumi dan laut.

Transformasi Ekonomi dan Hilangnya Jejak Budaya Produksi

Kehadiran industri hilirisasi nikel di Halmahera — melalui PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan Harita Nickel — telah mengubah wajah ekonomi secara drastis. Dari tanah pertanian dan desa pesisir yang tenang, kini tumbuh kawasan industri dengan kilang smelter, PLTU captive, dan lalu-lalang kontainer ekspor.

Secara makro, transformasi ini dianggap sukses. Nilai ekspor naik, investasi mengalir, dan PDRB melonjak. Namun di tingkat mikro, masyarakat kehilangan modal sosial dan ekonomi tradisionalnya. Lahan pertanian berubah fungsi, sungai tercemar, dan ruang hidup nelayan semakin sempit.

Dalam teori pembangunan, situasi ini dikenal sebagai “disembedded economy” — ketika sistem ekonomi terlepas dari akar sosial-budaya masyarakat (Karl Polanyi, The Great Transformation, 1944). Polanyi menegaskan, ketika ekonomi berdiri sendiri tanpa nilai dan tradisi yang menopang, ia kehilangan moralitas dan keberlanjutan.

Inilah yang kini mulai terasa di : ekonomi tumbuh, tetapi nilai-nilai leluhur yang menjunjung keseimbangan antara manusia dan alam mulai terkikis.

Ketimpangan Hilirisasi

Peter Evans (1979) dalam Dependent Development menjelaskan bahwa industrialisasi yang bersandar pada modal asing kerap melahirkan enclave economy — pulau-pulau kemajuan modern yang tidak berakar di masyarakat sekitar. Fenomena ini nyata di : smelter berkilau di Weda, namun desa-desa di sekitarnya tetap berjuang dengan akses air bersih, pendidikan, dan pekerjaan layak.

Hilirisasi nikel yang semestinya membawa trickle-down effect justru memperdalam ketimpangan. Ketika investasi besar hanya menciptakan lapangan kerja teknis untuk tenaga kerja luar daerah, masyarakat lokal tertinggal di sektor informal dengan pendapatan rendah. Kekayaan mineral yang seharusnya menjadi berkah berubah menjadi paradoks: semakin banyak yang digali, semakin sedikit yang dinikmati.

Warisan Budaya Ekonomi: Agraris-Maritim

Sejarah adalah sejarah perdagangan dan produksi yang berakar pada alam. Sejak masa Kesultanan dan Tidore, ekonomi rakyat bertumpu pada pala, cengkeh, sagu, dan ikan kering. Sistem barter dan niaga maritim melahirkan jejaring ekonomi yang adil dan beretika: ada resiprositas (saling memberi), bukan eksploitasi.

Konsep ini sejalan dengan teori “ekonomi moral” dari E.P. Thompson dan James C. Scott, yang menekankan pentingnya nilai keadilan, solidaritas, dan keseimbangan dalam produksi.
Dalam kerangka itu, kerja menjadi bagian dari kehidupan sosial — bukan sekadar alat akumulasi kapital.

Kini, ketika ekonomi didorong ke arah hilirisasi mineral, nilai-nilai itu memudar. Padahal kekuatan terbesar Maluku Utara justru terletak pada modal sosial dan ekologinya: laut yang luas, tanah subur, dan manusia yang tangguh.

Kembali ke Akar, Bukan Mundur ke Belakang

Kembali” ke identitas agraris-maritim bukan berarti menolak kemajuan. Sebaliknya, ia adalah ajakan untuk membangun model pembangunan baru yang berakar dan berkelanjutan — di mana industri tidak menyingkirkan petani dan nelayan, tetapi memberdayakan mereka melalui inovasi.

Hilirisasi yang sejati bukan hanya memurnikan nikel, tetapi juga memurnikan arah pembangunan: memastikan bahwa hasil bumi dan laut diolah dengan kearifan lokal, tenaga kerja lokal, dan manfaat yang adil bagi semua.

Maluku Utara harus menulis bab baru pembangunan yang berpihak pada manusianya, bukan hanya pada mineralnya.

Penutup: Kembali Menjadi Penjaga, Bukan Penggali

Ketika kita menengok sejarah, para leluhur tidak pernah menjadi penambang yang menguras bumi; mereka adalah penjaga keseimbangan antara alam dan kehidupan.

Mereka tahu bahwa kekayaan sejati bukan di perut bumi, tapi di tangan yang bekerja dengan cinta dan keringat jujur.Kini, di tengah gegap gempita hilirisasi, Maluku Utara perlu meneguhkan kembali jati dirinya.

Sebab jika pembangunan hanya menggali tanpa menanam, kita akan kehilangan lebih dari sekadar tanah — kita kehilangan jiwa kita sendiri. (*)