Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
_______
“…gubernur yang bijak adalah yang mampu menempatkan informasi sebagai instrumen transparansi, bukan alat propaganda personal…”
PENGELOLAAN informasi oleh seorang gubernur merupakan bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Informasi publik merupakan hak warga negara, bukan hak istimewa pejabat. Namun, dalam praktiknya, acap muncul kecenderungan para pemimpin daerah menggunakan media secara berlebihan sebagai sarana membangun citra pribadi ketimbang menyampaikan agenda pembangunan secara substantif. Fenomena gubernur yang tampil secara intens di berbagai saluran televisi nasional, maupun platform media sosial, merupakan contoh yang makin menonjol dalam lanskap politik Indonesia kontemporer akhir-akhir ini.
Dalam konteks komunikasi politik, munculnya kepala daerah di televisi, podcast, bisa dipandang sebagai bagian dari strategi membangun legitimasi publik. Namun, ketika konten yang disampaikan lebih menonjolkan kepentingan personal dibanding kebijakan publik, terjadi apa yang Gianpietro Mazzoleni sebut sebagai personalization of politics, yaitu ketika politik direduksi menjadi pertunjukan personal pejabat, bukan program (Mazzoleni, 2017: 112).
Personal branding memang menjadi instrumen yang kuat, tetapi ketika tidak dibarengi transparansi, akuntabilitas, dan capaian pembangunan, ia berubah menjadi alat reproduksi kekuasaan.
Gubernur yang terlalu kerap tampil di media nasional menghadapi dilema etis: antara kebutuhan komunikasi publik dan godaan panggung politik. Dalam banyak kasus, waktu dan energi yang dihabiskan untuk tampil di media justru mengurangi ruang kerja substantif di daerah. Menurut Dennis McQuail, komunikasi pemerintah seharusnya menekankan kepentingan publik, bukan publisitas personal (McQuail, 2010).
Ketika informasi pemerintah dikelola secara sentralistik oleh gubernur dan dipersonalisasi, publik tidak mendapatkan gambaran utuh tentang kondisi daerah, melainkan hanya narasi yang sudah disunting untuk kepentingan pencitraan.
Fenomena ini diperkuat oleh logika infotainment politics, di mana batas antara informasi publik dan hiburan menjadi kabur. Televisi nasional memerlukan figur menarik, dramatis, dan kontroversial agar rating naik. Di sisi lain, pejabat publik acapkali memanfaatkan kebutuhan ini sebagai kendaraan untuk memperluas pengaruh. Menurut John Street, media modern menjadikan politisi sebagai selebritas, bahkan ketika mereka menjalankan fungsi birokrasi
(Street, 2019). Ini menciptakan dinamika simbiosis antara pejabat dan media, tetapi tidak selalu menguntungkan warga.
Pertanyaannya: apa dampak dari model pengelolaan informasi seperti ini? Pertama, terjadi distorsi prioritas pembangunan. Ketika gubernur fokus pada media nasional, ia cenderung mempromosikan aspek pembangunan yang terlihat baik bagi citranya, bukan yang paling mendesak bagi masyarakat. Misalnya, pembangunan infrastruktur kecil dipromosikan besar-besaran di media, sedangkan persoalan layanan publik, transparansi anggaran, dan ketimpangan kawasan kurang mendapatkan perhatian. Fenomena ini disebut Susan Rose-Ackerman sebagai governance by spectacle, yaitu pemerintahan yang lebih menonjolkan pertunjukan dibanding substansi (Rose-Ackerman, 2016: 214).
Kedua, ruang kritis publik melemah. Ketika informasi dikelola secara terpusat oleh gubernur, narasi yang muncul ke publik merupakan narasi tunggal. Media lokal acapkali kalah kuat menghadirkan pembanding. Akibatnya, warga menerima informasi versi “paling aman” yang mempromosikan keberhasilan tanpa menunjukkan persoalan yang sedang dihadapi. Padahal, menurut Jurgen Habermas, ruang publik seharusnya berfungsi sebagai arena diskusi kritis, bukan ruang promosi personal pejabat (Habermas, 1991: 43).
Ketiga, penggunaan anggaran komunikasi bisa tidak efisien. Penampilan gubernur di TV nasional kerap membutuhkan biaya, baik langsung maupun tidak langsung, seperti kontrak komunikasi, tim media, produksi konten, hingga perjalanan dinas. Bila tidak diawasi dengan ketat, potensi pemborosan sangat besar. Dalam kajian Lembaga Administrasi Negara (LAN, 2020) tentang komunikasi publik pemerintahan, disebutkan bahwa penggunaan media harus memenuhi prinsip efektivitas, efisiensi, dan kepentingan publik. Jika aktivitas media justru diarahkan untuk kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip ini dilanggar.
Keempat, pencitraan berlebihan menciptakan kesenjangan antara citra dan realita. Masyarakat bisa saja melihat gubernur sebagai figur sukses berkat tampil intens di media nasional dan podcast, tetapi realitas di lapangan seperti layanan publik yang buruk, infrastruktur tidak merata, atau masalah birokrasi tetap tidak terselesaikan. Joseph Nye menyebut fenomena ini sebagai image-power imbalance, yaitu ketika kekuatan citra mengalahkan kualitas kebijakan (Nye, 2018: 144).
Dalam negara demokrasi, pemimpin membutuhkan komunikasi publik yang sehat, transparan, dan informatif. Bukan berarti gubernur dilarang tampil di media nasional atau podcast, justru komunikasi lintas wilayah penting untuk membangun jejaring investasi, promosi daerah, dan diplomasi pembangunan. Namun batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi harus dijaga secara etis.
Seharusnya, pengelolaan informasi dilakukan secara profesional melalui institusi resmi seperti OPD yang menangani Komunikasi dan Informatika, bukan dipusatkan pada figur gubernur. Informasi harus berbasis data, laporan kinerja, indikator pembangunan, serta kondisi riil masyarakat. Gubernur dapat tetap tampil di media, tetapi fokusnya harus pada akuntabilitas, bukan glorifikasi diri.
Dalam era digital yang makin terbuka, publik makin kritis terhadap pencitraan yang berlebihan. Warga kini menilai pemimpin bukan dari penampilannya di TV, tetapi dari kualitas kebijakan, layanan publik, dan keberpihakan terhadap rakyat. Oleh karena itu, gubernur yang bijak adalah yang mampu menempatkan informasi sebagai instrumen transparansi, bukan alat propaganda personal.
Pada akhirnya, pengelolaan informasi yang baik bukan tentang seberapa sering gubernur tampil di televisi nasional, tetapi seberapa banyak masyarakat merasakan perubahan nyata. Seperti kata Mark Bovens, “Akuntabilitas merupakan ukuran moral tertinggi dari seorang pemimpin” (Bovens, 2007: 450).
Jika informasi publik dikelola demi kepentingan pribadi, maka esensi kepemimpinan telah bergeser dari pelayanan menuju pertunjukan. (*)






Tinggalkan Balasan