Oleh: Anwar Husen

Pemerhati Sosial/Tinggal di Tidore,

_______

Post-Truth adalah era kemewahan metamorfosis dan ganti kulit tadi. Itu efek yang paling terasa. Orang cenderung mudah lupa”

SEJAK Presiden Prabowo Subianto mewanti-wanti para menterinya beberapa waktu lalu, bahwa mereka bisa diganti sewaktu-waktu jika kinerjanya tak maksimal, nampak ada gejala metamerfosis, “ganti kulit” di kalangan para menteri.

Di berbagai platform media sosial khususnya, terlihat banyak “aksi” yang tak biasa, yang tak terlihat sebelumnya. Tak peduli ada yang terkesan canggung dan murahan. Khususnya para menteri yang mungkin menyadari bahwa alarm pernyataan presiden itu ditujukan kepada mereka.

Bencana banjir bandang di Sumatera pekan-pekan ini, juga terlihat jadi panggung depan tebar pesona kepedulian, empati hingga klarifikasi.

Lembaga Kajian Politik Merah Putih yang diwakili Sutoyo Abadi, mensinyalir adanya praktik Strategi Desepsi [deception strategy] oleh sebagian elite kita. Mereka melakukan tindakan yang disengaja untuk mengelabui, menyesatkan, atau memanipulasi rakyat pada posisinya dan terus bertahan sebagai pionir kepentingan pihak asing tertentu. Meski itu tak lagi efektif karena telah terbaca publik. Beberapa gejala yang heboh saat ini adalah indikasinya.

Dari media Democrazy.News, kunjungan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan ke kawasan terdampak bencana hidrometeorologi di Padang, Sumatra Barat, menuai beragam reaksi publik. Aksi sang menteri yang ikut membersihkan warga dan memanggul beras dinilai sebagian pihak sebagai bentuk kepedulian, namun tidak sedikit pula warganet yang mengkritiknya dengan mengungkit rekam jejak masa lalu.

Zulkifli Hasan mengunjungi warga Kelurahan Lubuk Minturun, Kecamatan Koto Tangah, Padang, Sumatra Barat pada Minggu, 30 November 2025. Juga yang lainnya, terlihat membaur dan saling unjuk peduli.

Mengutip Liputan6.com, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyakarat [Menko PM] Muhaimin Iskandar mengaku berkirim surat ke koleganya di Kabinet Merah Putih [KMP]. Surat itu ditujukan ke Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Bahlil Lahadalia dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurrofiq. Surat itu berisi ajakan untuk evaluasi total seluruh kebijakan dan langkah yang diambil pemerintah terkait banjir di Sumatera. Ajakan ini terkait dengan bencana banjir Bandang dan longsor yang terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh. Sebagai wujud komitmen dan kesungguhan kita sebagai pemerintah. Bahasa NU-nya, Tobat Nasuha. Itu kuncinya, katanya. Dia melanjutkan, kunci Tobat Nasuha adalah evaluasi total. Karena itu, pemerintah harus mengevaluasi total seluruh kebijakannya yang berkaitan dengan alam. Supaya tidak terjadi lagi di . Kata Muhaimin, dari sejak kita berpikir, melangkah dan berbuat. Kiamat bukan sudah dekat. Kiamat sudah terjadi akibat kelalaian kita sendiri.

Apakah pernyataan Muhaimin tadi adalah bagian dari agenda metamerfosis terselubung? Entahlah. Terasa agak geli saja membaca berita ini.

Sekurang-kurangnya dalam tiga alasan, Menteri Muhaimin berada pada posisi dan situasi untuk bisa berbicara dan bertindak seperti ini. Pertama, ditujukan kepada bukan sesama kolega pejabat setara/menteri. Kedua, Muhaimin mewakili otoritas Majelis Ulama [MUI], atau sebagai personal ulama yang zuhud dan jadi teladan. Ketiga, andai itu mau ditujukan kepada sesama pejabat setara, Muhaimin harus pernah menduduki jabatan yang tugasnya mengurus kebijakan lingkungan hutan. Dan hasilnya diakui. artinya punya prestasi yang patut menjadi rujukan. Alasan lainnya, terburuk kalau harus saling memberi nasehat, maka yang paling dekat dengan kapasitas ini adalah menteri , bukan Menko Pemberdayaan Masyarakat.

Di luar kapasitas dan kondisi tadi, tindakan Muhaimin itu dipandang tak tepat. Ambil contohnya. Mahfud MD berani mengomentari kinerja Menkopolhukam dan kinerja Polri setelahnya, karena Mahfud pernah di jabatan Menkopolhukam itu. Ada koherensinya. Hebatnya, meski dari kalangan sipil tetapi kinerjanya relatif baik dan nyaris tanpa cacat.

Ada standar etika personal [personal ethics] dan kelembagaan yang dipegang Mahfud. Standar yang menegaskan, tidak saja soal kapasitas untuk bertindak, tetapi juga soal apa dan bagaimana caranya.

Ketika di tanya pendapatnya jika diajak untuk bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran, Mahfud dengan tegas menjawab tidak bisa. Itu karena standar etiknya tadi. Sebagai rival yang kalah, tak patut bertindak seperti itu. Berbeda dengan Muhaimin yang pernah diterpa isu kasus kardus durian, satu-satunya paslon presiden dan wakil presiden yang jadi rival dan mau bergabung. Bahkan paling awal dan bersedia menjadi menteri, bukan memberinya untuk kader partainya selain ketua umum.

Post-Truth adalah era kemewahan metamorfosis dan ganti kulit tadi. Itu efek yang paling terasa. Orang cenderung mudah lupa. Baru kemarin objek yang di nilai bisa begitu buruk, hari ini bisa dengan gampang dipuja. Juga sebaliknya. Otak kita dicekoki tanpa validasi yang saling timpa setiap waktu dari beragam platform media. Pengetahuan kognitif tanpa kritisisme dan kontemplasi. Kita kembali ke tingkatan pengetahuan paling awal dan rendah. menjadi etalase paling mewah yang diperebutkan.

Namun, seperti yang disinyalir Sutoyo Abadi tadi, juga mirip keyakinan Anis Matta bahwa era politik entertainment dan sudah lewat. Saat ini adalah era masyarakat menghadapi persoalan rill yang butuh figur pemimpin otentik. Politik saat ini haruslah berdampak pada kebermanfaatan publik alias punya impact. Untuk itu, berpolitik saat ini harus berbekal ide, integritas, dan kapasitas. Politik sejatinya adalah isu soal hidup.

Jika kita masih mau bertahan dengan politik dan entertainment, mungkin setahun lagi, Mantan Presiden Jokowi bisa dianggap sosok paling baik. Bahkan bisa dijuluki ahli surga oleh kita. Wallahua’lam. (*)