Oleh: Rama Chaerudin

Pegiat Sosial dan

_______

DALAM arus deras dinamika sosial, ekonomi, dan , seorang pemimpin kerap berdiri di antara dua tuntutan yang saling bersinggungan yakni kebutuhan untuk menjaga stabilitas dan keberanian untuk mengambil keputusan yang tidak selalu menyenangkan banyak pihak. Pada ruang inilah pendirian dalam berkebijakan memainkan peran paling fundamental. Ia bukan hanya perkara sikap, tetapi sebuah kerangka moral yang menuntun setiap pilihan, terutama pada saat-saat paling menentukan ketika kepentingan pribadi, tekanan eksternal, dan suara publik saling bertabrakan.

Pendirian dalam berkebijakan bukanlah keangkuhan atau kekerasan hati. Pendirian adalah kualitas yang berakar pada integritas, konsistensi, serta kemampuan berpikir jernih di tengah gangguan. Seorang pemimpin dengan pendirian memahami bahwa keputusan yang diambil akan memengaruhi banyak orang, membentuk arah organisasi atau negara, dan meninggalkan jejak sejarah. Oleh sebab itu, ia melihat kebijakan bukan sebagai cara memperluas kekuasaan, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.

Di banyak negara, termasuk , tantangan terbesar dalam proses berkebijakan justru bukan pada kurangnya data atau instrumen teknis, melainkan pada karakter pengambil kebijakan itu sendiri. Banyak keputusan publik gagal menyentuh akar persoalan karena pembuatnya lebih sibuk menghindari risiko ketimbang memperjuangkan solusi jangka panjang. Kebijakan menjadi reaktif, populis, dan mudah berubah setiap kali muncul tekanan dari kelompok tertentu. Inilah yang terjadi ketika pendirian tidak hadir dalam proses keputusan, kebijakan berhenti menjadi instrumen keberlanjutan dan berubah menjadi alat peredam masalah sementara.

Padahal makna pendirian bukan menolak perubahan atau kritik, melainkan memadukan keterbukaan pikiran dengan ketegasan prinsip. Pemimpin yang berpendirian mendengar masukan dari berbagai arah, membaca data secara objektif, memahami dinamika sosial di akar rumput, lalu merumuskan keputusan yang paling adil bagi banyak orang. Ia tidak alergi terhadap kritik, ia justru menjadikan kritik sebagai bahan bakar untuk memperhalus kebijakan. Tetapi setelah menimbang semua perspektif, ia tetap berdiri pada keputusan yang diyakini benar, meski keputusan tersebut tidak populer pada awalnya.

Dalam praktiknya, pendirian sering diuji pada momentum paling sulit, ketika kepentingan yang benar harus melawan kepentingan yang kuat. Misalnya, ketika sebuah kebijakan reformasi struktural membutuhkan pengorbanan jangka pendek tetapi membawa manfaat besar di masa depan. Atau ketika penegakan aturan harus dilakukan terhadap pihak yang memiliki pengaruh atau kedekatan personal. Di titik inilah pendirian berbicara. Apakah seorang pemimpin memilih kenyamanan atau kebenaran? Apakah ia memilih diam demi menjaga posisi atau berbicara demi menjaga integritas? Jawaban inilah yang kemudian menentukan kualitas seorang pemimpin.

Pendirian juga memengaruhi budaya organisasi dan kepercayaan publik. Di dalam institusi, pemimpin yang konsisten pada nilai-nilai etis akan menciptakan atmosfer kerja yang sehat. atau bawahan melihat bahwa keputusan diambil bukan berdasarkan kedekatan, tekanan, atau permainan , tetapi berdasarkan prinsip keadilan dan kelayakan. Hal ini membangun rasa aman dan produktivitas. Sebaliknya, kebijakan yang plin-plan dan sering berubah arah akan menumbuhkan ketidakpercayaan, memperlemah disiplin, dan membuka ruang bagi manipulasi.

Di ruang publik, pendirian menjadi simbol kredibilitas. Masyarakat lebih mudah percaya pada pemimpin yang konsisten, meskipun keputusan yang diambil tidak selalu sesuai dengan keinginan mereka. Sebab publik tahu bahwa kebijakan yang dibuat berangkat dari niat yang jelas untuk melindungi, menata, dan menyejahterakan. Kepercayaan ini adalah modal sosial yang tidak bisa dibeli dan tidak bisa dibangun dengan singkat.

pernah dan terus memiliki figur-figur pemimpin yang dikenal karena pendiriannya, mereka yang menolak tunduk pada tekanan , yang tetap menjaga integritas meski harus membayar harga yang tidak ringan. Dari tokoh reformasi, birokrat bersih, hingga pimpinan lembaga yang menolak kompromi terhadap pelanggaran hukum, mereka semua menunjukkan bahwa pendirian tidak hanya penting, tetapi juga menular. Saat satu orang berani berdiri tegak, orang lain turut mengikuti. Dan dari keberanian individu itulah sering kali perubahan besar dimulai.

Namun pendirian dalam berkebijakan juga membutuhkan kebijaksanaan. Terlalu kaku membuat seorang pemimpin kehilangan empati, sementara terlalu lunak membuat ia kehilangan arah. Pendirian yang sejati selalu berada di antara kedua kutub, tegas pada prinsip dan lentur pada metode. Ia memadukan moralitas dan rasionalitas, keberanian dan kerendahan hati, ketegasan dan kesediaan untuk belajar. Pemimpin yang memiliki pendirian memahami bahwa kebijakan bukan hanya tentang apa yang benar secara teknis, tetapi apa yang benar secara manusiawi.

Pada akhirnya, pendirian adalah fondasi dari setiap kebijakan yang ingin bertahan melewati waktu. Tanpa pendirian, kebijakan akan cepat lapuk. Dengan pendirian, kebijakan dapat menjadi kompas yang memandu organisasi atau negara menuju arah yang lebih baik. Dunia boleh berubah cepat, tekanan boleh datang dari semua sisi, tetapi seorang pemimpin yang berpendirian tahu bahwa keberanian moral adalah satu-satunya hal yang tidak boleh dinegosiasikan. Karena dari pendirian itulah lahir kebijakan yang bukan hanya efektif, tetapi juga bermartabat. (*)