Oleh: Anwar Husen

Pemerhati Sosial/Tinggal di Tidore,

_______

Pada akhirnya, bola itu ada pada partai . Dan faktanya, partai masih diyakini bukanlah kumpulan para negarawan. Meski beberapa partai telah mewacanakan secara positif soal ini, kalkulasi elektoral tetap menjadi variabel kuncinya. Bukan kebesaran jiwa dan kepentingan bangsa

DUA kali tosser Bahlil disambut Prabowo. Dua momentum dengan satu isu yang sama: kaji ulang sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD.

Itu terjadi di puncak HUT ke-60 tahun lalu, juga HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, Jumat [5/12/2025]. Ongkos yang mahal jadi dasarnya.

Di momentum HUT Partai Golkar tahun lalu, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengocek bola, melemparkan gagasan Partai Golkar akan memulai kajiannya soal wacana ini. Kemudian di sambut Presiden Prabowo Subianto di pidato penghujungnya, dan bak bola salju, menggelinding kemana-mana saat itu.

Tahun ini isunya sama. Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan usulan agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, bukan lagi dipilih langsung oleh rakyat. Gagasan ini merespons mahalnya ongkos dalam sistem pemilu langsung di . Prabowo menilai sistem demokrasi Indonesia perlu menekan biaya dan meminimalisir praktik uang dalam kontestasi. Bagi Presiden, demokrasi harus mengurangi terlalu banyak permainan uang. Juga, hanya ditentukan oleh orang-orang yang berduit.

Presiden mengaitkan mahalnya biaya dengan tingginya kasus korupsi di kalangan kepala daerah. Politik yang mahal dan mau meniru negara lain ini, jadi sumber korupsi yang sangat besar. Beliau mencontohkan sejumlah negara yang menerapkan sistem serupa, Malaysia dan India. Juga Inggris, Kanada, Australia, negara terkaya di dunia pakai sistem politik yang murah. Politik Indonesia harus berlandaskan semangat persatuan setelah pemilu. Prabowo berkeyakinan, politik demokrasi Indonesia harus bercirikan: persaingan pada saat bersaing, begitu selesai bersaing, bersatu, kompak, gotong royong dan kerja sama.

Di kesempatan itu, Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia juga menyampaikan dukungannya atas wacana tersebut. Bahlil menegaskan demokrasi perlu dirancang agar menekan biaya politik dan menghindari dominasi uang. Menurut Bahlil, demokrasi kita pun harus kita cari jalan terbaik sendiri, seperti yang disampaikan Partai Golkar berkali-kali. Demokrasi harus mengurangi terlalu banyak permainan uang. Demokrasi harus kita bikin minimal ongkos politik. Supaya politik kita jangan hanya ditentukan orang-orang berduit.

Mungkinkah dua momentum dengan dua isu politik yang sama ini, memang didesain menjadi pra kondisi sebelum pembahasan UU terkait oleh DPR-RI yang direncanakan tahun depan? Atau bahkan adalah sinyal yang lebih pasti bahwa era pemilihan langsung kepala daerah bakal berakhir? Bisa saja dibaca demikian.

Hal atau alasan yang paling esensi bagi saya adalah suka atau tidak, bahwa cita-cita demokrasi substantif masih sebuah fakta utopia. Konsolidasi sosial dilevel pemilih kita tak berjalan paralel dengan fakta pemilu dan kualitas demokrasi. Terlalu lama kita menanti fakta korelatif antara pelaksanaan Pilkada langsung dengan meningkatnya kualitas demokrasi di level grassroot. Indikator paling menonjol, kemampuan menerima fakta implikasi perbedaan pilihan dan beda pendapat. Sudah 20 tahun sejak 2005, fakta ini masih jadi barang mahal. Poinnya, apakah kita masih mau menanti harapan yang tak pasti ini, atau memilih banting stir menemukan alternatif lain? Wacana di HUT Golkar tadi bisa dibaca arahnya.

Data Badan Pemeriksa Keuangan [BPK], biaya penyelenggaraan Pilkada tahun 2024 dari hibah pemerintah daerah sebesar Rp28,72 triliun dan berasal dari APBN sebesar Rp974,36 miliar. Nilai anggaran tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan anggaran Pilkada pada tahun 2020.

Di sisi lain, laporan Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2023 dari Indonesia Corruption Watch, yang dirilis pada Mei 2024 lalu, menemukan bahwa desa dan pemerintahan menempati peringkat paling tinggi untuk sektor korupsi. Bergulirnya kebijakan dana desa jadi pemicunya di sektor desa. Sedangkan korupsi di sektor pemerintah, sarana dan prasarana pemerintah mendominasinya dengan 74 persen. Anggaran pendapatan 17 persen dan anggaran belanja 9 persen. Dari aspek 10 Besar modus korupsi, dua objek yang sangat dominan dan “beda tipis”, adalah kegiatan proyek fiktif dan penyalahgunaan anggaran. Setali tiga uang, Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] mengonfirmasi selama periode 2020 hingga 2024, telah menerima total 21.189 laporan korupsi. Laporan ini mencakup berbagai bidang dan sektor. Poinnya, desa adalah organ pemerintah daerah. Tak berada di ibukota negara.

Mengutip Kompas.com, 1 Desember 2025, biaya politik yang tinggi dinilai publik menjadi salah satu penyebab kepala daerah melakukan korupsi. Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas, sebanyak 21,2 persen responden menyatakan korupsi kepala daerah disebabkan oleh biaya politik yang tinggi. Di peringkat pertama penyebab kepala daerah melakukan korupsi adalah penegakan hukum yang pilih-pilih, yakni sebesar 22,4 persen. Selain itu, mayoritas publik atau 61,5 persen responden juga mengaku tidak yakin jika gubernur yang memimpin daerahnya bersih dari korupsi. Sedangkan 30,5 persen masyarakat mengaku yakin bahwa gubernur yang memimpin daerahnya bebas dari korupsi. Sedangkan 8 persen responden lainnya menyatakan “tidak tahu”.

Fakta minor lain dari Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] RI. Mengutip Kompas.com, Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] menegaskan bahwa praktik suap di lingkungan pemerintah daerah masih mendominasi kasus korupsi di Indonesia. Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengatakan, data KPK menunjukkan bahwa 51 persen kasus korupsi yang ditangani terkait pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Karenanya, KPK mendorong pimpinan daerah untuk memperkuat integritas dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Pernyataan itu disampaikan Fitroh di hadapan 25 walikota/bupati peserta kursus Pemantapan Pimpinan Daerah [KPPD] Gelombang II Tahun 2025 di Gedung Trigatra, Lemhannas, Jakarta lalu.

Pilkada langsung dan fakta korupsi dilevel kepala daerah ini tentu bisa ditelusuri akarnya ke mana-mana. Bahkan ditarik konklusi lebih jauh bahwa Pilkada langsung adalah salah satu sebab dan akar kerusakan struktural di nagara ini. Menariknya, baru di era Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, korelasi akar masalahnya diungkap terbuka: dana TKD dipangkas signifikan. Harian Kompas 11 September lalu hingga menurunkan headline, “Turbulensi Fiskal Ancam Daerah”. Alasan Purbaya, banyak kebocoran. Dua puluh tahun ini kita sedang main drama, berpura-pura tak tahu ada variabel mendasar akar kerusakan struktural ini.

Besarnya nilai NPHD yang diungkap Ketua KPU tadi, tak sekedar dibaca sebagai mahalnya nominal belanja Pilkada. Lebih dari itu, juga jadi ladang korupsi. Fakta biaya penggunaan private jet oleh Komisioner KPU lalu, adalah indikasi pagar makan tanaman.

Alhasil, bertemulah dua kutub potensi koruptif dahsyat: biaya pelaksanaan kontestasi Pilkada langsung yang ditanggung pemerintah dan variabel biaya yang harus disiapkan bakal calon kepala daerah. Apalagi bagi calon incumbent.

Pada akhirnya, bola itu ada pada partai politik. Dan faktanya, partai politik masih diyakini bukanlah kumpulan para negarawan. Meski beberapa partai telah mewacanakan secara positif soal ini, kalkulasi politik elektoral tetap menjadi variabel kuncinya. Bukan kebesaran jiwa dan kepentingan bangsa. Wallahua’lam(*)