Oleh: Thomas Ch. Syufi

Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights/POHR

_______

BARU saja masyarakat Papua dikejutkan dengan kematian seorang ibu bernama Irene Sokoy dengan bayi dalam kandungan setelah ditolak oleh empat rumah sakit d Jayapura, Papua, yaitu RSUD Yoawi, Rumah Sakit Dian Harapan, RSUD Abepura, dan Rumah Sakit Bhayangkara. Ini sesuatu yang sangat tragis dan mengenaskan yang terjadi di tengah kabupaten dan kota Jayapura, provinsi Papua yang merupakan wilayah yang menjadi barometer pembangunan di tanah Papua. Adalah sesuatu yang tidak bisa ditolerir dengan alasan apa pun. Ini sebuah tragedi yang terjadi karena bobroknya manajemen rumah sakit dan hampanya nurani kemanusiaan para pelayan di rumah sakit. Benar-benar ini pelanggaran hukum dan kejahatan terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara melalui institusi dan tenaga pelayanan atau medis yang punya niat buruk.

Ibu Irene Sokoy (32 tahun) dan bayinya yang meninggal pada 17 November 2025 merupakan kegagalan rumah sakit yang tidak memiliki empati dan rasa kemanusiaan yang menolong atau melayaninya. Padahal Ibu Irene Sokoy sudah dalam kondisi kritis, tetapi ditolak dengan alasan administrasi dan lain sebagainya. Bisa dibilang RS berlaku diskriminatif terhadap korban dengam mempersoalkan masalah fasilitas dan administrasi teknis rumah sakit, yang tidak ada nilainya setara dengan nilai kemanusiaan korban itu sendiri. Ini pelanggaran terhadap norma-norma hukum dan hak asasi manusia, bahkan pengkhianatan terhadap prinsip dan asas-asas hukum dan hak asasi manusia yang berlaku universal, yaitu salus aegroti suprema lex (keselamatan pasien adalah hukum tertinggi) atau salus populis suprema lex (keselamatan jiwa-jiwa manusia adalah hukum tertinggi). Artinya, dunia kedokteran dan pelayanan , semua tindakan dan pertimbangan lain harus mengutamakan keselamatan, kesejahteraan, dan kepentingan pasien di atas segalanya. Ini merupakan asas hukum paling tertinggi dari semua norma apa pun yang ada di dunia, termasuk Pancasila, UUD 1945, UU No. 36 Tahun 2009 yang telah diubah menjadi UU No. 17 Tahun 2023 tentang , peraturan  rumah sakit, dan segala urusan administrasi lainnya. Ketika diperhadapkan pada tuntutan kemanusiaan, semua peraturan membisu atau demi kemanusiaan bila perlu hukum, aturan administrasi pun bisa dilanggar dan itu dapat dibenarkan. Karena, hukum dibuat untuk kemanusiaan, bukan sebaliknya, kemanusiaan untuk hukum. Hukum dibuat untuk melayani manusia, bukan manusia yang harus tundak secara kaku pada hukum. Nilai kemanusiaan dianggap lebih tinggi dari hukum, sebab hukum dibentuk untuk mewujudkan nilai-nilai ideal seperti keadilan dan ketertiban demi tercapainya kehidupan manusia yang lebih baik. Bukan hukum mengikuti kemauan atau kehendak pribadi oknum aparatur negara, termasuk tenaga medis. Dalam perspektif kemanusiaan dikenal dengan adagium, “…membunuh satu orang sama dengan membunuh semua orang. Karena, itu para tenaga medis atau dokter harus konsisten bahkan menjadikan ini menjadi jiwa dirinya.

Tenaga seyogianya menjadikan tugas melayani pasien bukan sekadar sebagai sebuah profesi atau pekerjaan semata, tetapi itu merupakan panggilan suci kemanusiaan yang butuh totalitas , pelayanan tanpa pamrih, yang bersumber pada semangat cinta kasih dan bela rasa, sebab pada hakikatnya semua manusia adalah sama sebagaimana diadopsi dalam motto Palang Merah dalam bahasa Italia, “Siamo Tutti Fratelli” (Kita Semua Bersaudara). Jadi, keselamatan pasien atau jiwa-jiwa manusia adalah hukum tertinggi dari semua segala norma hukum di dunia ini.

Ini menjadi etika dasar dalam dunia kedokteran dan pelayanan . Seorang dokter atau penyedia layanan kesehatan harus memiliki kewajiban tinggi untuk memastikan keselamatan pasien, dan prinsip ini harus diterapkan dalam setiap aspek pelayanan tanpa diskriminasi. Sebagaimana dalam Pasal 21 ayat (2) Deklarasi HAM PBB 10 Desember 1948, yang mengatakan, “setiap orang berhak memperoleh akses yang sama terhadap pelayanan publik di negaranya”.  Juga menurut Komenter Umum No. 14 Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan budaya PBB menegaskan, hak atas mensyaratkan fasilitas, barang, dan layanan kesehatan harus memenuhi empat prinsip yang saling terkait, antara lain, ketersediaan, yaitu adanya jumlah fasilitas, barang, dan layanan kesehatan publik yang berfungsi baik dalam kualitas yang cukup. Ini juga mencakup sumber daya manusia yang kesehatan yang terlatih dan obat-obatan esensial. Dan yang kedua adalah aksebilitas,  yangmenekankan bahwa pelayanan kesehatan harus dapat dijangkau oleh semua orang tanpa diskriminasi. DalamUUD 1945 Pasal 28H ayat (1) juga secara gamblang menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh layanan kesehatan dan selanjutnya di Pasal 34 ayat (3) konstitusi ini juga menyatakan bahwa tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas layanan publik yang layak bagi warganya. Bahkan secara teknis  dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga menekankan bahwa kesehatan merupakan hak asasi  dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD 1945.

Jadi, secara konstitusional semua orang puya hak yang sama untuk mengakses pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas tinggi, termasuk terjangkau bagi masyarakat miskin. Hak atas layanan kesehatan harus berkualitas baik, mencakup personel medis yang terampil, obata-obatan yang disetujui secara ilmiah dan tak kedaluwarsa, peralatan rumah sakit yang berfungsi, dan sanitasi yang memadai. Negara berkewajiban mengambil langkah-langkah positif guna mewujudkaan hak kesehatan warganya secara progresif dan memadai, termasuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi pasien, juga pasien berhak mendapat informasi mengenai kesehatan dirinya dan penjelasan yang memdai tentang pelayanan kesehatan didapatkannya.

Pada dasarnya, semua instrumen dan norma hukum dan nasional tersebut di atas menekankan bahwa semua orang berhak atas kesehatan yakni hak untuk memperoleh layanan kesehatan dari fasilitas kesehatan agar dapat diwujudkan derajat kesehatan setinggi-tingginya, sebagai unsur utama pemenuhan hak asasi manusia dalam rangka perwujudan harkat dan martabat kemanusiaan.

Karena itu, penolakan terhadap pasien Ibu Irene Sokoy yang kritis hingga meninggal dengan anak dalam kandungannya adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia serius, karena diduga ada unsur pembiaran atau kesengajaan (dolus) yang dilakukan oleh pihak rumah sakit yang merupakan bagian fasilitas layanan publik yang disediakan oleh negara. Empat rumah sakit pemerintah dan swasta di Kabupaten dan Kota Jayapura bisa mendapatkan sanksi tegas, dengan ancaman hukuman pidana dan gugatan perdata. Perlu adanya sanksi tegas kepada empat rumah sakit ini, terutama oknum-oknum pertugas kesehatan, karena menolak pasien untuk berobat hingga nyawa terenggut bersama bayinya dalam perut. Ini bukan kali pertama kematian mengenaskan dialami orang Papua. Tahun 2024 lalu, peristiwa pilu ini dialami juga oleh Ais Utasad (4 tahun), bocah asal Kampung Eri (Sikari 2), Distrik Roufaer, Kabupaten Mamberamo Raya, Papua. Ais menderita penyakit misterius dan kritis yang membuatnya pucat dan kurus. Orangtunya membawanya ke RSUD Kawero di Mamberamo Raya, namun karena tidak ditangani sehingga ia dirujuk ke RSUD Abepura, RSUD Dok II,  RS Provita hingga Dian Harpan Waena, namun nyawa Ais tidak tertolong, karena kekurangan biaya, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, padahal keluarga yang tidak mampu secara ekonomi itu sudah berusaha menggunakan BPJS tetapi kenyataannya mereka harus membayar semua hingga Rp 6 juta. Bahkan ia dirujuk ke RS Dok II harus rawat inap, tetapi Ais disuruh pulang, dan makin kritis dan meninggal.

Miris memang hak asasi orang Papua selalu disepelekan dari berbagai aspek, termasuk hak untuk mendapat pelayanan kesehatan yang total dan memadai sebagai perwujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Semua ini terjadi di era Otonomi Khusus (Otsus). Yang mana ribuan triliunan rupiah dana Otsus telah digelontorkan ke Tanah Papua, lagi pula tanahnya kaya raya akan sumber daya alam di atas dan di dalam perut bumi, tetapi manusia Papua masih hidup menderita, menjerit, dan mati di negeri sendiri. Kita ini ibarat kata, seperti kita gadis cantik yang buta membaca surat cinta”. Lebih parahnya lagi, Ibu Irene Sokoy meninggal dengan bayi yang mengandungnya itu terjadi menjelang peringatan 24 tahun pemberlakuan UU No. 21 Tahun 2001 yang telah diubah menjadi UU No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Ini sebuah anomali atau paradoks: orang Papua mati di tengah berlimpah ruah kekayaan alam dan pesta pora para elite di birokrasi dengan uang Otsus Papua. Rakyat kecil mati di tengah sandiwara elite-elite oportunis otonomi khusus Papua.  Maka, dengan kejadian ini, diharapkan semua pihak mengevaluasi diri dan segera bertindak demi keselamatan nyawa-nyawa orang Papua atas pelayanan kesehatan yang tidak becus, semrawut, dan tidak humanis ini.

Untuk memberikan efek jera bagi para penyelenggara atau penyedia layanan kesehatan publik untuk tidak mengulangi tragedi seperti ini di masa depan harus perlu saksi yang tegas berupa pidana maupun perdata. Ini kasus sangat serius di mana penolakan petugas dari keempat rumah sakit menyebabkan kondisi pasien Irene Sokoy memburuk atau meninggal dunia bersama bayi dalam kandungannya. Tindakan rumah sakit dapat dianggap sebagai tindak pidana, dan bisa dibuatkan laporan polisi. Yang berikut adalah ditempuh melalui jalur gugatan perdata berupa Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Bisa dapat diajukan ganti rugi melalui jalur pengadilan perdata karena penolakan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit menimbulkan kerugian fisik atau materiil. Kedua cara ini bisa ditempuh oleh keluarga korban demi memulihkan keadaan semula (restitutio in integrum) yang menjadi tujuan hukum pidana, maupun perdata, asalkan diperkuat dengan dukungan bukti-bukti yang relevan, seperti rekam medis (jika ada), identitas rumah sakit dan petugas yang menolak, serta saksi mata, untuk meenjadi dasar dibuatkan laporan polisi atau guatan perbuatan melawan hukum (PMH). (*)