Oleh: Anwar Husen

Pemerhati Sosial/Tinggal di Tidore,

_______

Deretan bencana demi bencana di negeri ini, tidak saja menyisakan fakta warna kebijakan negara di masa lalu yang buruk, tetapi juga makin menampakkan watak asli aktor dibaliknya. Mungkin ini yang tersisa dari rasa syukur kita. Andai tak ada bencana, akan makin sulit kita menerka wajah kebijakan, juga watak eksploitatif aktor di baliknya.

SEBAGIAN sikap dan perilaku ambiguitas dan wajah ganda kita dalam banyak hal, tersaji telanjang saat ini. Dan deretan bencana jadi penguaknya.

Mengutip advokat Yus Dharman, Ketua Dewas Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia [Fusilatnews, 05/12], menurut Pew Research Center, lebih dari 90% warga Indonesia menganggap agama sebagai aspek terpenting dalam hidup. Namun Indeks Persepsi [IPK] 2023 dari Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara, dengan skor 34. Angka ini memperlihatkan jurang antara identitas religius dan perilaku etis. Indonesia, yang sering digambarkan sebagai bangsa religius—tempat rumah ibadah berdiri di setiap sudut, dan simbol-simbol keagamaan menghiasi ruang publik. Namun ironinya, tingkat tetap tinggi. Religiusitas yang semestinya menjadi fondasi moral ternyata tidak selalu menjelma menjadi integritas dalam perilaku keseharian, pemerintahan, maupun dunia bisnis.

China sebuah negara komunis. Tetapi sangat ketat dengan urusan . Eksekusi tembak mati tanpa kompromi. Rusia, negara berpenduduk kristen ortodoks, tapi melarang menghina simbol-simbol agama lain, apa lagi menghina Nabi agama lain. Di negara kita, penganut agama mengaku paling benar agamanya. Setiap sumpah jabatan menggunakan kitab suci dan simbol ritual atas nama Tuhan. Tapi coba lihat apa korelasinya dengan prilaku etiknya.

Mengutip KOMPAS.com, China telah melakukan penghijauan besar-besaran selama beberapa dekade terakhir. Upaya untuk memulihkan ekosistem dan melawan perubahan iklim itu ternyata memicu perubahan tak terduga pada pola air di seluruh negeri. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa “regreening” besar-besaran ini telah mengaktifkan kembali siklus air dan mengalirkan ulang distribusi air dalam skala nasional. Studi yang dipublikasikan di jurnal Earth’s Future pada 4 Oktober mengungkap perubahan drastis ini. Antara 2001–2020, tutupan vegetasi yang meningkat justru mengurangi jumlah air tawar yang tersedia bagi manusia dan ekosistem di wilayah monsun timur dan wilayah kering barat laut — area yang mencakup sekitar 74% daratan China. Sebaliknya, ketersediaan air meningkat di Dataran Tibet. Program penghijauan paling ambisius di China adalah Great Green Wall, yang dimulai tahun 1978 untuk menahan perluasan gurun. Dalam 50 tahun terakhir, proyek ini meningkatkan tutupan hutan dari 10% [1949] menjadi lebih dari 25% saat ini, menambah luas hutan setara ukuran negara Aljazair, dan pada 2023, pemerintah mengklaim telah mengepung gurun terbesarnya dengan vegetasi.

Indonesia menjadi negara dengan kehilangan hutan tropis 10,5 juta hektar, terbesar kedua di dunia. Dari berbagai sumber, data BPS tahun 2025, yang merujuk pada data 2024 juga mengkonfirmasi angka sekitar 3,41 juta hektar luas perkebunan sawit di Riau. Tentu ini melalui proses alih fungsi lahan. Meski produksinya signifikan, tingkat kerentanannya terhadap ancaman ekosistem dan banjir sangat tinggi, dari daya tahan tanah akibat curah hujan ekstrim dan berpotensi banjir. Soal penebangan hutan, entah itu disematkan sebagai liar, atau menutupi kebobrokan, tak usah debat. Fakta banjir Sumatera pekan-pekan ini, dengan segala implikasinya adalah narasi hidupnya yang menari-nari di pelupuk mata kita dan sulit dibohongi. Tak usah banyak berkelit.

Itu baru di Riau, belum lagi di provinsi lainnya. Karunia Tuhan berupa hasil alam yang luar biasa itu, dikeruk sekendaknya tanpa nurani. Di , pulau Halmahera dan beberapa pulau lainnya sedang menanti “vonis mati” hukum keseimbangan alam.

Jika Rusia saja melarang penghinaan nabi dan simbol-simbol agama lain, di negara kita justru pemuka agama dan yang paling sering mengklaim diri dan komunitasnya paling suci dan agamis, sedang menghina agamanya sendiri. di wilayah agama jadi hal biasa tanpa rasa malu. Bahkan urusan ritual agama seperti haji, hingga pengadaan kitab suci agama, juga jadi kasus . Nahdlatul Ulama [NU], ormas keagamaan terbesar di Indonesia sedang berkonflik akut, ribut soal pelanggaran etik organisasi. Soal urusan mengelola tambang dan isu pencucian uang [] senilai 100 miliar, dan berbagai dugaan tindakan kontroversial-organisatoris lainnya.

Di di masa orde baru pernah berkembang sinisme membaca terbalik. Bicaranya penguasa harus dibaca sebaliknya. Itu fakta yang diyakini benar karena telah berkali-kali terbukti. Semua itu karena efek ketidakpercayaan publik. Saat ini ada trend, membaca terbalik fakta atas mantan kepala negara dan institusi keagamaan negara dan ormas keagamaan tertentu. Apa yang diungkapkan, baca kebalikannya.

Kita bisa punya konklusi sementara menjembatani identitas religius dan prilaku etis, dari fakta yang vulgar terlihat saat ini: jangan meletakkan kesimpulan identitas religius pada janggut, seberapa pun panjangnya. Jangan mengaitkannya dengan keseringan menggunakan songkok putih. Seberapa lapis pun itu. Bisa jadi, hal-hal begini adalah jurus baru menjebak umat dan merusak nilai agama. Berpura-pura menyamarkan prilaku asli yang hedonis.

Jangan lagi percaya identitas religius yang diperankan sosok yang merasa paling suci dan agamis, dengan satu indikator kunci ini: pernah punya rekam jejak terbukti , atau sekurang-kurangnya pernah diperiksa aparat penegak hukum. Pernah punya rekam jejak rakus kekuasaan dan kenegaraan yang vulgar.

Deretan bencana demi bencana di negeri ini, tidak saja menyisakan fakta warna kebijakan negara di masa lalu yang buruk, tetapi juga makin menampakkan watak asli aktor dibaliknya. Mungkin ini yang tersisa dari rasa syukur kita. Andai tak ada bencana, akan makin sulit kita menerka wajah kebijakan, juga watak eksploitatif aktor di baliknya. Wallahua’lam(*)