Oleh: Mursal Bahtiar

Wartawan dan Pemerhati

________

HALMAHERA Selatan kembali membuktikan satu hal dimana tetap menjadi raja olahraga di Bumi Saruma. Setiap musim turnamen digelar, riuh protes antar kesebelasan mulai dari keabsahan pemain hingga silang data administrasi nyaris tak pernah absen. Namun, berbeda dari anggapan bahwa perselisihan itu mengaburkan sportivitas, justru di Halmahera Selatan ia terbaca sebagai sinyal sehat, masyarakat peduli, klub-klub hidup, dan tensi kompetisi terus naik.

Dalam dinamika daerah, gesekan semacam itu bukan barang baru. Hampir semua Kabupaten di pernah mengalaminya, terutama ketika ekosistem mulai tumbuh.

Halmahera Selatan pun begitu. Semakin ramai kritik, semakin tampak bahwa olahraga ini telah menjadi identitas sosial, bahkan kebanggaan kolektif yang tak bisa disepelekan. Protes adalah komentar publik, dan komentar publik adalah bukti bahwa Halmahera Selatan bergerak menuju level yang lebih serius.

Halmahera Selatan pernah mencatatkan diri di kasta ketiga nasional, itu jelas bukan perkara sepele. Meski hingga kini belum berhasil menembus Liga 2, asa itu tak pernah padam. Dengan munculnya kekuatan baru dari Maluku Utara seperti Malut United yang meroket ke level elite, semangat itu justru meningkat. Banyak yang percaya, Halmahera Selatan hanya butuh mesin yang lebih terawat dan manajemen yang lebih sistematis untuk ikut bersaing di papan nasional.

Riuh polemik pada Turnamen Piala Bupati Halmahera Selatan 2025 sebetulnya hanyalah wajah dari kecintaan masyarakat terhadap . Ketika sebuah laga diperdebatkan, ketika legalitas pemain disorot, atau ketika aturan turnamen jadi polemik, itu bukan semata-mata kekisruhan. Itu energi. Itu gairah. Itu bukti bahwa publik tak ingin kompetisi berjalan ala kadarnya.

Namun, energi itu perlu diarahkan. Gelaran-gelaran lokal butuh format yang lebih fresh, mendekati standar liga. Mulai dari pendataan pemain, regulasi transfer amatir, hingga mekanisme sanksi, semuanya perlu lebih tertata. Kompetisi yang rapi akan meminimalkan konflik, sekaligus meningkatkan kualitas pertandingan.

Di balik hiruk-pikuk di lapangan senior, ada mesin tenang yang bekerja terkait pembinaan pemain usia dini. PSSI Halmahera Selatan dalam beberapa tahun terakhir mulai menggeber kembali pembinaan di kelompok usia. Akademi berjalan, SSB bangkit, dan turnamen junior mulai menyebar ke kecamatan-kecamatan. Inilah fondasi yang tak boleh dilupakan.

Jika jalur pembibitan ini dijaga, Halmahera Selatan dapat melakukan sesuatu yang lebih terukur, tentunya dengan menargetkan berapa banyak pemain asli daerah yang bisa diorbitkan ke dan Liga 2 setiap musim. Sebuah target realistis yang bisa menjadi tolok ukur kemajuan daerah.

Ketika pemain lokal mampu menembus klub besar, identitas daerah ikut terangkat. Bahkan lebih dari itu, jalan ekonomi keluarga para pemain bisa berubah. Sepak bola, di Halsel, bukan hanya ruang aktualisasi, ia bisa menjadi profesi yang menghidupkan.

Membangun sepak bola Halmahera Selatan berarti merawat gairah yang sudah ada, sambil membenahi manajemen, kompetisi, dan pembinaan. Semua elemen ini saling terkait, kompetisi yang rapi melahirkan pemain yang terukur, pembinaan yang serius melahirkan talenta yang layak jual, dan keterlibatan publik, bahkan dalam bentuk protes menjadi tenaga penggerak ekosistemnya.

Sepak bola di Halmahera Selatan sudah berada di jalur yang tepat. Yang dibutuhkan kini hanyalah konsistensi, keberanian memperbaiki sistem, dan keberpihakan pada pemain muda.

Jika itu dipenuhi, maka Halmahera Selatan bukan hanya sekadar daerah yang mencintai sepak bola. Ia akan menjadi daerah penghasil sepak bola, dan lebih jauh lagi, daerah yang menjadikan olahraga ini sebagai ruang naik kelas bagi masa depan warganya. (*)