Oleh: Fahmi Djaguna

Sekretaris ICMI ORDA

_______

SEBELUM menulis opini ini, saya duduk di pojok aula hotel Perdana Morotai, ditemani secangkir kopi hitam yang begitu khas pahit namun hangat. Di hadapan saya, para guru dan akademisi dari Stimulant Institute dan Universitas Pasifik (UNIPAS) Morotai sedang berdiskusi tentang lokakarya kurikulum dan penyusunan modul ajar. Di tengah percakapan itu, saya teringat bahwa hari ini adalah 10 November yakni Hari . Sebuah momen sakral yang mengajak kita untuk merenungi kembali arti keberanian, pengorbanan, dan nurani kebangsaan.

selalu menjadi momentum untuk bercermin. Dahulu para pejuang mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan. Kini, perjuangan kita bukan lagi dengan senjata, melainkan dengan keberanian moral dan retorika nurani. Namun, di tengah semangat itu, Morotai masih menyimpan banyak luka yang belum terobati. Luka itu tidak berasal dari luar, melainkan dari dalam tubuh birokrasi dan tata kelola pemerintahan kita sendiri.

Beberapa waktu terakhir, publik Morotai dikejutkan oleh penemuan obat-obatan kedaluwarsa di sejumlah fasilitas seperti RSUD, , bahkan di Dinas . Lebih memprihatinkan lagi, di saat rakyat menjerit karena sulitnya akses pelayanan yang layak, muncul pula isu pungutan liar di rumah susun tenaga RSUD Soekarno Morotai. Dua peristiwa ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan tanda retaknya pelayanan publik yang semestinya berlandaskan hati nurani. Apa arti peringatan Hari Pahlawan jika di rumah pelayanan , tempat penyembuhan dan harapan, justru tumbuh praktik-praktik yang melukai martabat kemanusiaan?

Masalah tidak berhenti di situ. Di bidang ekonomi daerah, angka-angka Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dilaporkan dari beberapa dinas justru mengundang tanda tanya besar. Dinas PUPR Morotai misalnya, hanya mencatat PAD sebesar Rp 900 ribu dalam setahun, angka yang nyaris tidak masuk akal untuk sebuah institusi teknis yang seharusnya memiliki potensi besar dari retribusi dan jasa konstruksi. Di sisi lain, sektor perikanan yang mestinya menjadi jantung ekonomi Morotai juga belum mampu menyejahterakan nelayan. Harga ikan tuna, yang menjadi komoditas unggulan, tidak sesuai dengan nilai jerih payah para nelayan. Bahkan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di Desa Daeo, yang dulu digadang-gadang sebagai simbol kedaulatan ekonomi maritim, kini tak mampu menampung hasil tangkapan nelayan secara optimal.

Fakta-fakta ini bukan sekadar data di atas kertas, melainkan potret buram realitas. Di sinilah keberanian moral para pemimpin diuji. Refleksi Hari Pahlawan haruslah menjadi cermin bagi Bapak Bupati Rusli Sibua dan Bapak Wakil Bupati Rio C. Pawane, apakah keberpihakan mereka akan berpijak pada nurani dan rakyat, atau tenggelam dalam arus kepentingan yang mengaburkan arah pembangunan?

Namun, di tengah kritik yang wajar, saya meyakini bahwa pemerintahan RusliRio memiliki peluang besar untuk menorehkan sejarah baru. Kepemimpinan sejati tidak diukur dari banyaknya program yang dicanangkan, tetapi dari kesungguhan menyelesaikan persoalan yang menyentuh hidup rakyat kecil. Saya haqul yakin bahwa di bawah kepemimpinan mereka, Morotai masih bisa keluar dari bayang-bayang krisis nurani birokrasi, menuju tata kelola pemerintahan yang berintegritas dan berpihak pada kepentingan masyarakat.

Kita sering lupa, pembangunan sejati bukan hanya tentang membangun jalan, jembatan, atau gedung megah. Pembangunan sejati adalah pembangunan karakter, kejujuran, dan keberanian moral. Sebab, sebagaimana pesan Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kalimat ini menggema kuat di benak kita saat melihat bagaimana integritas terkadang kalah oleh kepentingan pribadi. Hari Pahlawan adalah pengingat agar kita berani berkata benar, sekalipun suara kita sendiri yang paling sumbang.

Morotai, pulau yang dulu menjadi saksi perang besar dunia, kini menjadi medan perang baru perang melawan ketidakpedulian. Bila dahulu pahlawan meneteskan darah untuk kemerdekaan, maka hari ini kita harus meneteskan keringat dan keberanian untuk membersihkan sistem dari praktik busuk yang menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan.

Kini, tanggung jawab moral ada di pundak setiap pemimpin, birokrat, akademisi, dan warga Morotai. Kepahlawanan di era modern bukanlah soal pangkat atau jabatan, melainkan tentang siapa yang paling jujur membela kepentingan rakyat. Dan ketika Morotai berani berpihak pada nurani, di sanalah sesungguhnya nilai kepahlawanan menemukan maknanya yang sejati.

Sebab Morotai masa lalu adalah Jakarta hari ini dan Morotai hari ini adalah cermin masa depan bangsa. Jika kita ingin masa depan yang bermartabat, maka hari ini kita harus berani memihak pada keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Itulah inti refleksi Hari Pahlawan: membangun Morotai dengan hati yang berpihak pada rakyat dan nurani yang tetap menyala dalam setiap keputusan. (*)