Oleh: Ruben Cornelius Siagian*
_______
DALAM lanskap demokrasi, karya investigatif seperti buku politik memegang tempat sebagai medium kritik dan kontrol sosial. Di Indonesia, buku-buku semacam ini kerap digunakan untuk membongkar isu kontroversial dan mengurai wacana kekuasaan. Namun kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan tanpa batas, bahwa ia dibatasi oleh kerangka hukum, pedoman etika, dan tanggung jawab terhadap kebenaran.
Ketika sebuah buku menyasar figur publik dan menggunakan judul eksplosif seperti “GIBRAN END GAME: WAPRES TAK LULUS SMA”, timbul pertanyaan mengenai batas antara kebebasan berpendapat dan potensi pelanggaran hukum. Di satu sisi, publik berhak atas informasi kritis yang relevan untuk proses demokrasi. Di sisi lain, hukum melindungi individu dari fitnah, pencemaran nama baik, dan manipulasi fakta. Tulisan ini mencoba mengurai ketegangan tersebut melalui analisis teori, studi kasus, dan kerangka hukum di Indonesia.
Kebebasan Berekspresi dan Batas Hukumnya
Jürgen Habermas, dalam teori demokrasi deliberatif, menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena dialog rasional (Goode, 2005; Lubenow, 2012). Ruang ini memungkinkan warga berbagi opini, termasuk kritik terhadap pemerintah maupun figur politik, sebagai bagian dari kontrol demokratis. Namun kritik yang lahir dari ruang publik ini tidak berarti dapat melampaui batas integritas dan objektivitas. Tulisan Habermas, J. (1998) dalam bukunya yang telah diterbitkan oleh MIT press yang berjudul On the pragmatics of communication menegaskan bahwa komunikasi publik harus berlandaskan kejujuran dan itikad baik (Habermas, 1998).
Indonesia sendiri menjamin kebebasan berekspresi dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) (Junaedi and Rohmah, 2020). Meski demikian, kebebasan ini berada di bawah regulasi hukum lain seperti KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang bertujuan menjaga keseimbangan antara hak berpendapat dan perlindungan terhadap martabat pribadi serta ketertiban sosial.
Risiko Pencemaran Nama Baik
Pada kasus kritik terhadap tokoh publik, perbedaan antara opini sah dan pencemaran nama baik sering kali terletak pada kejelasan pembuktian dan niat publikasinya. Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27 ayat (3) UU ITE, memahami pencemaran nama baik sebagai pernyataan atau tuduhan publik yang merusak reputasi seseorang tanpa dasar yang dapat diverifikasi (Antonio and Adhari, 2024; Toruan and Sidauruk, 2025).
Dalam kajian hukum media oleh (Gunatilleke, 2021), batas ini diperjelas, bahwa kritik yang didasarkan pada fakta dan argumen yang sah secara metodologis dan verifikatif dilindungi oleh kebebasan ekspresi. Sebaliknya, tuduhan personal yang tidak disertai bukti kuat berpotensi dianggap sebagai serangan terhadap martabat pribadi.
Dalam publikasi yang menyebut seorang pejabat publik “tidak lulus sekolah”, pertanggungjawaban hukum bisa terjadi jika pernyataan tersebut tidak didukung oleh bukti yang dapat diakses, diverifikasi, atau melibatkan klarifikasi dari pihak terkait.
Penyebaran Informasi Palsu dan UU ITE Pasal 28 Ayat (2)
UU ITE Pasal 28 ayat (2) memuat ketentuan mengenai penyebaran informasi yang tidak benar (hoaks) yang dapat memicu keresahan di masyarakat (Mufid and Hariandja, 2019). Zürn, M. (2014) dalam penelitiannya menyebut bahwa publikasi berbasis asumsi atau dokumen palsu, apalagi menyerang individu tertentu, memiliki dampak besar terhadap stabilitas sosial dan bisa menjadi alat politisasi (Zürn, 2014).
Dalam kampanye dan polarisasi politik, informasi yang tidak akurat atau tidak diverifikasi dapat dimanfaatkan untuk membentuk opini publik secara manipulatif. Penerbitan yang mencampurkan fakta dan interpretasi tanpa kejelasan metodologis berisiko menjadi bagian dari disinformasi.
Pelanggaran Etika Jurnalistik dan Penelitian yang Tidak Verifikatif
Di luar hukum formal, etika jurnalistik juga menjadi rambu dalam menulis karya berbasis data publik. Kode Etik Jurnalistik Indonesia mewajibkan setiap penulis untuk melakukan verifikasi dan menerapkan prinsip cover both sides sebelum memublikasikan sebuah tuduhan atau narasi investigatif. De Burgh, H. (2008) mencatat bahwa banyak karya investigatif populer justru terjebak pada sensasi dan agenda tertentu, sehingga menyerupai “jurnalistik rasa gosip”, bahwa karya yang tampak serius, namun metodologinya rapuh (De Burgh, 2008).
Buku investigatif seharusnya mematuhi standar riset, seperti triangulasi sumber, wawancara berimbang, dan pembuktian dokumen. Tanpa proses ini, publikasi tersebut rentan dianggap sebagai manipulasi atau propaganda, khususnya dalam konteks kritik politik.
Studi Kasus Nasional
Salah satu contoh yang sering dibahas dalam kajian media adalah kasus “Jokowi Undercover”. Pujiono Cahyo Widianto, penulis buku tersebut, divonis bersalah karena menyebarkan tuduhan yang tidak berdasar terhadap Presiden Joko Widodo. Tuduhan seperti “ijazah palsu” disampaikan tanpa bukti yang sah dan tanpa memberi kesempatan pihak terkait menjelaskan. Pengadilan akhirnya menggandeng UU ITE Pasal 28(2) dalam memutus kasus tersebut.
Kasus ini menjadi preseden bahwa meskipun karya investigatif hadir sebagai bagian dari dinamika demokrasi, metode pengumpulan data dan tanggung jawab publiknya tidak boleh diabaikan. Mengklaim karya sebagai “investigatif” tanpa prosedur yang sah justru menjadikannya rentan dikategorikan sebagai fitnah atau hoaks.
Pelindungan Data Pribadi dalam Konten Publik
Dalam konten investigatif, UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi memberikan panduan ketat bahwa data pribadi seseorang, termasuk data pendidikan, tidak boleh dipublikasikan tanpa izin atau dasar hukum yang valid (Satria and Yusuf, 2024). Meski tokoh publik berada dalam ranah kritik terbuka, mereka tetap memiliki hak atas perlindungan privasi tertentu. Buku yang menyertakan dokumen pribadi seperti data sekolah atau catatan keluarga tanpa izin dapat dianggap melanggar hak privasi.
Studi Kasus Internasional atas Publikasi Investigatif-Politik Berisiko
Di berbagai belahan dunia, publikasi investigatif-politik telah memainkan peran dalam menyingkap fakta tersembunyi dan mengawasi kekuasaan. Namun, sejarah menunjukkan bahwa batasan antara kritik sah dan pelanggaran hukum kerap kabur. Kasus-kasus berikut memperlihatkan bagaimana kebebasan berpendapat bisa berbenturan dengan ancaman pidana, dan bahwa kebenaran faktual bukan satu-satunya faktor yang menentukan nasib seorang penulis.
Salah satu contoh paling terkenal adalah Julian Assange, pendiri Wikileaks, yang membocorkan ribuan dokumen rahasia milik pemerintah Amerika Serikat, termasuk laporan militer dan surat diplomatik (Assange et al., 2015). Publikasi tersebut menuai pujian di satu sisi sebagai upaya transparansi, tetapi di sisi lain membawanya menghadapi dakwaan berat di bawah Espionage Act 1917. Adapun ancaman hukuman hingga 175 tahun penjara, kasus Assange menegaskan bahwa di hadapan negara, kebebasan pers dapat berbenturan keras dengan konsep keamanan nasional.
Julian Assange, pendiri Wikileaks
Sumber: https://www.wabe.org/julian-assange-sees-incredible-double-standard-clinton-email-case/
Contoh lain adalah Maria Ressa, pendiri media Rappler di Filipina. Melalui pemberitaan investigatif yang mengkritisi kebijakan Presiden Duterte, Ressa terjerat pasal pencemaran nama baik di bawah UU Cyberlibel dan aturan kepemilikan media asing (Guison and Macalintal, 2023). Meskipun ia memenangkan Nobel Perdamaian 2021 sebagai tokoh pejuang kebebasan pers, negara justru menunggunya di meja hijau, memperlihatkan bahwa kritik politik di dalam rezim semi-otoriter tetap berada di bawah bayang-bayang kriminalisasi.
Maria Ressa, pendiri media Rappler di Filipina
Sumber: Own work
Beralih ke Eropa, kasus David Irving menunjukkan bentuk pelanggaran berbeda namun tidak kalah kontroversial. Irving, seorang penulis Inggris, dipenjara di Austria karena menyebarkan konten yang menolak keberadaan Holocaust (Cholis, 2007). Dalam konteks Eropa pasca-Perang Dunia II, penyangkalan Holocaust tidak hanya dianggap keliru secara historis, tetapi juga digolongkan sebagai ujaran kebencian, yang diatur dengan hukuman penjara tiga tahun. Di sini, batasan hukum ditarik jelas untuk melindungi kebenaran sejarah dan martabat korban genosida.
David Irving
Sementara di Tiongkok, jurnalis senior Gao Yu membocorkan dokumen internal Partai Komunis dan dihukum tujuh tahun penjara dengan alasan membocorkan rahasia negara (Buckley, 2014). Walau tujuannya memperjuangkan transparansi, sistem hukum otoriter tampaknya tidak memberi ruang bagi pembelaan atas nama kepentingan publik. Kasus Gao Yu memperlihatkan betapa sempitnya ruang kebebasan pers di dalam negara yang ketat mengontrol arus informasi.
Kasus Roberto Saviano di Italia menunjukkan bentuk lain dari konsekuensi publikasi kritis. Menulis tentang sepak terjang mafia Napoli dalam bukunya Gomorrah, Saviano tidak digiring ke pengadilan tetapi justru menghadapi ancaman pembunuhan dari organisasi kriminal (Saviano, 2019). Ia kini hidup di bawah perlindungan polisi seumur hidup. Ini mengingatkan kita bahwa ancaman atas publikasi investigatif tidak hanya datang dari negara atau hukum, tetapi juga dari pihak-pihak yang merasa kekuasaannya terancam.
Melihat kasus-kasus ini, kita memahami bahwa ancaman terhadap penulis investigatif-politik hadir dalam berbagai bentuk, yaitu; mulai dari dakwaan pencemaran nama baik, penyebaran informasi palsu, pelanggaran rahasia negara, hingga tuduhan penistaan sejarah atau pelanggaran privasi. Instrumen hukum seperti defamation laws, Espionage Act, hingga UU Pelindungan Data Pribadi, menjadi senjata negara dalam mengawasi batas publikasi. Adapun kelompok non-negara seperti mafia atau kelompok ekstrem juga dapat menjadi ancaman nyata, menunjukkan bahwa menulis kebenaran kadang bukan hanya soal pasal, tetapi nyawa.
Penerbitan investigatif dalam ranah politik bukan hanya persoalan keberanian dan visi, melainkan persoalan strategi, etika, dan kesadaran hukum. Di banyak negara, kebenaran faktual saja tidak cukup untuk membebaskan pelaku dari ancaman pidana. Niat di balik publikasi, metode perolehan informasi, dampaknya terhadap publik, dan tingkat verifikasinya turut dipertimbangkan oleh pengadilan.
Dalam hal ini, penulis dan penerbit di Indonesia pun perlu memahami seluruh aspek tersebut sebelum menapaki wilayah publikasi politik yang sensitif. Kebebasan berekspresi memang dijamin UUD, tetapi tanpa kehati-hatian dan tanggung jawab, karya yang dimaksudkan untuk mencerdaskan dapat berujung menjadi bukti di pengadilan.
Penutup
Pada akhirnya, perdebatan seputar karya seperti “GIBRAN END GAME: WAPRES TAK LULUS SMA” bukan hanya soal isi, tetapi juga soal cara, bahwa cara kita memandang kebenaran, mengelola kebebasan berpendapat, dan menguji batas moral dalam berdemokrasi. Kebebasan berekspresi memang menjadi salah satu pilar kehidupan publik yang sehat, namun kebebasan itu hanya bermakna jika berdiri di atas landasan etika dan tanggung jawab.
Sebagaimana Habermas tegaskan, ruang publik bukan arena sembarang bicara, melainkan ruang dialog yang rasional dan berkeadilan. Di era sensasi dan klik cepat, penulis dan pembaca sama-sama ditantang untuk tidak terjebak pada judul provokatif atau narasi yang memancing emosi. Kritik harus tetap tajam, tetapi juga adil. Fakta harus lahir dari investigasi, bukan sekadar kecurigaan. Dan nama baik seseorang bukanlah harga yang boleh dipertaruhkan demi larisnya sebuah buku.
Di tengah polarisasi politik yang kian tajam, keberanian dalam menulis harus diimbangi kejujuran intelektual dan disiplin metodologis. Tanpa itu, kita tak sedang memperkuat demokrasi, tapi justru membiarkan ruang publik tercemari oleh kebisingan yang menyesatkan. Oleh karena itu, membaca ulang batas kebebasan berekspresi bukan berarti membungkam kritik, melainkan memastikan kritik tetap menjadi jalan menuju kebenaran, bahwa bukan sekadar jalan pintas menuju sensasi.
Referensi
Assange, J., Bennis, P., Jamail, D., Busch, M., Certo, P., Hallinan, C., Harrison, S., Heydarian, R., Johnston, J. and Main, A., 2015. The WikiLeaks files: the world according to US empire. Verso Books.
Buckley, C., 2014. Chinese journalist detained over leak; Communist Party critic charged with providing secret document to media. International New York Times, p.NA-NA.
Cholis, N., 2007. Berhala Holocaust: Pertarungan Sengit Zionis & Revisionis. MediaKita.
De Burgh, H., 2008. Investigative journalism. Routledge.
Goode, L., 2005. Jurgen Habermas: Democracy and the public sphere. Pluto Books.
Guison, R. and Macalintal, A., 2023. When Cyber Libel Restrains Press Freedom: The Case of Maria Ressa. MediAsia2023 Conference Proceedings. .
Gunatilleke, G., 2021. Justifying limitations on the freedom of expression. Human Rights Review, 22(1), pp.91–108.
Habermas, J., 1998. On the pragmatics of communication. MIT press.
Junaedi, A.M. and Rohmah, S.N., 2020. Relevansi Hak Kebebasan Mengeluarkan Pendapat Dalam Pasal 28E Ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia Terhadap Kajian Fiqih Siyasah. Mizan: Journal of Islamic Law, 8(2), pp.225–248.
Lubenow, J.A., 2012. Public sphere and deliberative democracy in Jürgen Habermas: Theorethical model and critical discourses. American Journal of Sociological Research, 2(4), pp.58–71.
Mufid, F.L. and Hariandja, T.R., 2019. Efektivitas Pasal 28 Ayat (1) UU ITE tentang Penyebaran Berita Bohong (Hoax). Jurnal Rechtens, 8(2), pp.179–198.
Satria, M.K. and Yusuf, H., 2024. Analisis yuridis tindakan kriminal doxing ditinjau berdasarkan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang perlindungan data pribadi. Jurnal Intelek Dan Cendikiawan Nusantara, 1(2), pp.2442–2456.
Saviano, R., 2019. Gomorrah. Pan Macmillan.
Toruan, J.K.L. and Sidauruk, J., 2025. Analisis Hak Serta Rehabilitasi Nama Baik Korban Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial. Perspektif Administrasi Publik dan hukum, 2(1), pp.01–14.
Zürn, M., 2014. The politicization of world politics and its effects: Eight propositions. European political science review, 6(1), pp.47–71.






Tinggalkan Balasan