Oleh: Abdurahman Hoda
Ketua STPK Banau
________
Pekan Budaya Kota Rempah yang akan berlangsung di Kabupaten Halmahera Barat pada 17–22 November 2025 membawa tema besar: “Merawat Ekosistem Budaya, Melestarikan Tradisi.” Tema ini tampak sederhana, tetapi mengandung makna yang luas dan menuntut keseriusan penyelenggara dalam mengelola sebuah ekosistem, bukan sekadar meramaikan sebuah agenda tahunan. Justru di titik inilah publik layak menaruh harapan sekaligus kritik.
Harapannya tentu besar. Halmahera Barat adalah bagian penting dalam lanskap sejarah rempah dunia. Tradisi, bahasa, musik, tarian, sistem pengetahuan lokal, dan ritual masyarakatnya memuat nilai-nilai yang tidak hanya layak dirayakan, tetapi juga dikelola sebagai aset pembangunan. Pekan Budaya dapat menjadi momentum memperkuat posisi Halmahera Barat sebagai pusat kebudayaan kawasan, sekaligus mengangkat martabat komunitas adat yang selama ini menjadi penjaga otentisitas budaya.
Namun, di balik semangat merawat tradisi, muncul satu pertanyaan krusial: seberapa efisien dan transparan penggunaan anggaran dalam event ini?
Ini penting karena kegiatan budaya sering kali terjebak dalam pola seremonial yang menyita anggaran besar, tetapi meninggalkan dampak kecil. Belajar dari penyelenggaraan event-event sebelumnya, publik kerap menemukan: program yang tidak sinkron antar dinas, biaya dekorasi dan panggung yang membengkak, pagu anggaran promosi yang tidak diimbangi jangkauan publikasi, dan kegiatan pendampingan budaya yang hanya aktif selama acara berlangsung tetapi mati setelah penutupan.
Jika kelemahan-kelemahan ini kembali terjadi, maka tema besar “Merawat Ekosistem Budaya” hanya akan menjadi jargon yang tidak menyentuh akar persoalan. Sebab ekosistem tidak bisa dirawat dengan kegiatan lima hari, tetapi melalui desain kebijakan yang konsisten, berkelanjutan, dan efisien.
Kritik terbesar justru terletak pada orientasi anggaran. Di tengah tuntutan efisiensi fiskal dan prioritas pembangunan yang semakin ketat, pemerintah daerah seharusnya mampu menunjukkan bahwa setiap rupiah memiliki justifikasi yang jelas. Pekan Budaya harus mulai meninggalkan budaya “event spending”—menghabiskan anggaran untuk kemeriahan sesaat—dan bergerak menuju “impact spending”—menghasilkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Beberapa pertanyaan yang patut dijawab secara terbuka antara lain: Apakah kegiatan ini didukung baseline data budaya yang jelas?. Siapa pihak yang diuntungkan dari alokasi anggaran terbesar—komunitas budaya atau justru vendor luar daerah? Apakah pendanaan dialokasikan untuk pelatihan, dokumentasi, dan pemetaan tradisi yang berkelanjutan, atau hanya untuk pertunjukan panggung yang menghilang setelah hari terakhir?
Publik butuh jaminan bahwa event yang membawa nama besar “Kota Rempah” bukan hanya panggung glamor, tetapi benar-benar menghidupkan kembali pengetahuan dan tradisi masyarakat. Sebab melestarikan budaya bukan hanya soal menampilkan tarian, tetapi memperkuat ekosistem orang-orang yang menjaga tradisi itu sehari-hari.
Pekan Budaya Kota Rempah 2025 seharusnya mampu menjadi contoh bagaimana Halmahera Barat mengelola anggaran secara modern, transparan, dan berdampak. Jika penyelenggaraan tahun ini mampu menunjukkan inovasi—misalnya kolaborasi dengan komunitas lokal, pemanfaatan teknologi digital yang murah namun luas, dan perencanaan terukur—maka publik akan melihat bahwa pemerintah benar-benar serius merawat budaya, bukan hanya merayakannya.
Aset yang Mulai Terpinggirkan
Di tengah berbagai tradisi yang hidup di Halmahera Barat, pengetahuan lokal tentang rempah, perladangan, dan perikanan tradisional adalah salah satu warisan paling strategis namun paling terabaikan. Padahal, ketiga pengetahuan ini merupakan dasar terbentuknya peradaban masyarakat Maluku Utara pada masa kejayaan rempah dunia.
Secara historis, masyarakat Halmahera Barat memiliki hubungan erat dengan hutan, tanah, dan laut—relasi ekologis yang melahirkan pengetahuan mendalam mengenai budidaya, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan. Pengetahuan lokal ini bukan sekadar praktik, tetapi sistem budaya yang mencakup nilai, ritual, serta mekanisme sosial untuk menjaga keseimbangan alam.
1. Pengetahuan Rempah: Dari Pala hingga Cengkih
Sebagai bagian dari pusat rempah dunia, Halmahera Barat memiliki tradisi panjang dalam pengelolaan pala dan cengkih. Mulai dari pemilihan bibit, tata cara penanaman, teknik perawatan yang mengutamakan alam, hingga proses pemanenan dan pengeringan yang diwariskan turun-temurun. Pengetahuan ini membuat masyarakat lokal mampu menjaga kualitas rempah tanpa ketergantungan pada input modern yang mahal.
Namun kini banyak praktik ini ditinggalkan akibat tekanan pasar, kurangnya regenerasi petani muda, dan minimnya dokumentasi. Jika tidak direvitalisasi, Halmahera Barat bisa kehilangan keunggulan historisnya sebagai daerah rempah.
2. Pengetahuan Perladangan Tradisional
Sistem perladangan tradisional—termasuk ladang berpindah yang terukur dan tersistem—mengandung kearifan ekologis yang jarang dipahami oleh kebijakan modern. Ada aturan adat tentang waktu membuka ladang, batas-batas lahan, komposisi tanaman, dan jeda pemulihan tanah (fallow) yang dibuat bukan hanya untuk produksi pangan, tetapi juga menjaga regenerasi hutan.
Ketika sistem ini dianggap usang, banyak daerah justru mengalami degradasi tanah dan hilangnya varietas tanaman lokal. Kegiatan budaya seperti Pekan Budaya Kota Rempah seharusnya menjadi ruang untuk memperkenalkan kembali model pertanian adat ini sebagai solusi pertanian berkelanjutan.
3. Pengetahuan Perikanan Tradisional
Sebagai masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, warga Halmahera Barat memiliki teknik perikanan tradisional yang menjaga keseimbangan laut—misalnya pemanfaatan alat tangkap ramah lingkungan, pengetahuan arus dan musim, hingga larangan adat terhadap wilayah tertentu (sasi atau bentuk lokal lain) untuk menjaga keberlanjutan stok ikan.
Ironisnya, pengetahuan ini semakin terpinggirkan oleh alat tangkap modern yang merusak dan pola eksploitasi komersial. Pelestarian tradisi perikanan bukan hanya soal melindungi nelayan, tetapi memastikan bahwa laut tetap menjadi sumber kehidupan generasi yang akan datang.
Pada akhirnya, opini kritis ini bermuara pada satu harapan: bahwa Pekan Budaya Kota Rempah tidak menjadi rutinitas yang menghabiskan biaya, tetapi menjadi praktik baik dalam tata kelola budaya. Bahwa tradisi tidak hanya dipentaskan, tetapi dijaga. Bahwa anggaran tidak hanya dibelanjakan, tetapi dipertanggungjawabkan. Dan bahwa Halmahera Barat benar-benar menunjukkan diri sebagai rumah budaya yang hidup, kuat, dan dikelola dengan integritas. (*)






Tinggalkan Balasan