Oleh: Mirzan Salim

_______

IA memegang kendali jagat media. Melindungi diri dari harum citra kemasan yang begitu mempesona. Dengan paras wajah yang cantik, dunia seolah terpusat padanya menjadi batu.

Seperti itulah gambaran yang ada dalam benak orang ketika perhatian mereka tertuju kepadanya. Serupa Medusa dalam cerita mitologi Yunani Kuno yang dikenal dengan paras wajah yang cantik. Lantaran kecantikan yang dimiliki, ia akhirnya dikutuk oleh dewi Athena karena mengetahui telah bercinta dengan Dewa Laut Poseidon. Punya wajah cantik itu memang berisiko, seperti dalam judul novel Eka Kurniawan Cantik itu Luka.

Bahwa tidak semua yang terlihat cantik itu selalu indah. Wajah hanyalah kiasan, analogi sang pecinta yang terbuai mabuk asmara. Sejatinya kecantikan itu bersumber dari  dalam hati (inner beauty). Sebab cantik punya motif bujukan, atau rayuan agar kita benar-benar tertarik dan berupaya untuk merengkuhnya. Sebagaimana dalam mengiklankan produk kosmetik, agar orang dibuat percaya, maka kata cantik hadir sebagai penyempurnaan meskipun kita pada akhirnya menyadari bahwa itu hanyalah strategi marketing.

Saat ini, kita seolah menjadi korban sekaligus menjadi Medusa dalam . Sekali kita melihatnya, kita lalu dihukum menjadi batu. Kita justru dibuat mengeras dengan pendapat kita, memilih untuk tidak beranjak ke mana-mana, statis – dungu! Jika ada yang mencoba melayangkan kritik kepadanya, sebagian orang lalu bereaksi sebagai pelindung.

Dalam istilah yang familiar dikenal dengan . Di mana orang-orang cenderung memasarkan secara massif agar dapat diterima oleh khalayak umum. Mereka bekerja sebagai medusa dalam jagat maya. Apa yang dipromosikan adalah kekuatan sihir dalam menghipnotis publik untuk percaya. Dalam dunia virtual, sekali kita dibuat percaya, maka kita akhirnya mengeras seperti batu yang secara perlahan- tergelincir menjadi fanatik. Padahal, setiap yang diperoleh mestinya dijadikan bahan evaluasi dan diuji kebenarannya demi sebuah percakapan yang berkualitas sebagai warga yang demokratis. Bukan sekadar konsumsi sembari menerima dengan latah (taken for granted). Apalagi dalam dunia modern, cenderung mengarahkan kita untuk seragam. Merasa minder ketika memilih jalan yang berbeda.

Kita akhirnya menolak mengutamakan hidup yang lebih bermakna. Kita seringkali melakoni hidup berdasarkan standar eksternal. Bergantung terhadap apa yang disampaikan para dan memilih nyaman menjadi korban Medusa. Dalam pandangan Heidegger,  “Manusia adalah makhluk yang memahami Ada, dan dengan pemahaman ini, ia dapat menciptakan masa depannya”.

Pertanyaannya, apa yang dipahami Ada oleh para pelindung tersebut terhadap sesuatu yang bakal dipercaya mendatangkan masa depan?

Mereka memahami Ada dalam pengertian citra identitas, bahwa sosok medusa perlu dijaga dan dilindungi. Tidak boleh ada daya tarik lain selain yang dimiliki oleh Medusa itu sendiri. Sekali pandang maka terkutuklah batu. Padahal kemasan citra yang senantiasa dijaga tentu akan memudar. Tidak ada kesempurnaan yang diperoleh melalui citra. Citra justru sebagai tanda kekurangan, ia diperlukan karena menyadari ketidaksempurnaan.

Dan para korban Medusa ini terus berupaya agar ketidaksempurnaan itu tidak terlihat atau sengajadisembunyikan. Padahal, jika kita memeriksa secara serius terhadap setiap klaim keberhasilan semisal, ekonomi tertinggi, dekat dengan rakyat dan memberikan perubahan, semua itu sifatnya retoris semata. Di era pemerintahan sebelumnya, sudah dikenal sebagai provinsi dengan ekonomi tertinggi. Begitu juga narasi pemimpin yang dekat dengan rakyat juga sudah dilakukan  pada era sebelumnya dengan tagline “selalu di hati”. Dan istilah membawa perubahan hanyalah ungkapan politis yang faktanya belum bisa dibuktikan dengan waktu kepemimpinan baru setahun ini. Para pengikut setianya dengan bangga mengatakan meskipun baru 8 bulan tapi telah merasakan dampak perubahan. Kalimat yang lengkap itu mestinya bukan dampak dari perubahan, tapi warisan perubahan. Karena ia baru dilantik saat telah disahkan.

Saat ini, para korban medusa tidak lagi fokus menginformasikan terkait program. Mereka justru membarikade diri sebagai tameng dan menyerang para pengkritik. Mereka memainkan algoritma sosial media dengan narasi untuk melumpuhkan pihak oposisi. Di era kepemimpinan ini, oposisi dinilai sebagai penghalang. Seolah keberadaan pihak oposisi adalah ancaman. Padahal, demokrasi itu dimungkinkan karena adanya pihak oposisi yang dilegitimasi keberadaannya. Bukan sebaliknya dilumpuhkan atau dibungkam. Menurut Voltaire, hak menyampaikan pendapat itu harus dibela, yang ditolak ialah mempertahankan sebuah pendapat.

Bahkan para korban medusa ini cenderung mengabaikan argumentasi. Mereka lebih aktif memainkan sentimen yang menyerang sisi personal. Mereka menjadikan ad-hominem sebagai satu-satunya cara menghadapi para pengkritik kebijakan. Inikah yang kita harapkan sebagai sebuah masa depan? Masa depan seperti apa yang lebih percaya sentimen ketimbang argumen? Sherly tentu bangga dengan kebijakan menggratiskan uang komite, tapi menutup mata bahwa dampak yang terjadi dalam eskosistem justru menunjukan adanya kekacauan pikiran dan percakapan yang tidak terdidik yang diperlihatkan oleh para pengikut setianya.

Sebagai perbandingan, kita perlu ingat apa yang dikatakan oleh KH Agus Salim, bahwa pemimpin itu menderita – bukan . (*)